23.30
Sudah setengah jam
dari waktu wajib tidur, di mana para santri pada sibuk menyuarakan nada-nada
dengkur di setiap sudut kamar. Satu suara bersahutan dengan suara dengkur lain
membuat suasana malam benar-benar terasa seperti di pabrik
selep. Hanya Oman yang masih tegar terjaga di ujung kamar. Di bawah lampu
belajar yang terangnya tak seberapa, ia fokus menelaah kitabnya. Entah apa yang
telah mempengaruhi otak Oman. Malam ini ia lebih tekun dari biasanya.
Selain Oman, ada tiga
temannya di kamar itu. Tetapi mereka sedang asik berkonser di balik punggung
Oman. Mereka seperti penyiar radio yang sedang off air di tengah malam.
Yah, off air. Tahu sendiri kan suara
radio off air kayak gimana? Grskrskrsgrrr.
Sudah bukan hal yang
tabu jika tengah malam yang sunyi terdengar
suara igauan-igauan gak jelas di kamar Oman. Benar benar gak jelas. Mulai dari
jeritan minta tolong, tangisan, sampei hafalan nadhom. Gila, mengigau aja
bisa ngelalar nadhom, gimana meleknya.
Oman segera mendekat
ke teman-temannya yang tergeletak kayak barisan ikan panggang tak beraturan. Ia
mengambil sebungkus garam di kotak pojok bawah lemarinya. Anah memang. Kenapa
pula ada garam di kamar. Tapi bukan Oman namanya kalau tidak suka usil. Sengaja
ia menyimpan garam untuk ngerjain temen-temennya yang suka mendengkur keras di
tengah malam.
Bukan hanya garam,
sering juga ia memasukin biji maoni ke mulut temannya yang sedang tidur. Gila,
betapa mampusnya tuh lidah saat bangun dan mulai merasakan reaksi pahitnya
maoni. Parahnya, Oman bukannya minta maaf, tapi malah menghujam temanya dengan
gojlokan basinya; “Untung bukan rinso yang ane masukin. Bisa berbusa-busa tuh
mulut..wkwkwk”.
Garam sudah di
tangan Oman. Kali ini ia merapat ke
Raden, salah satu temannya yang sedang mengigau. Mendengar igauannya, Oman jadi
tertawa sendiri. Iseng-iseng, ia menyahuti omongan geje-nya Radenz
Raden: Gantian, dong!
capek..!
Oman; Apaan, baru segitu
udah capek.
Raden; Aduh, capek
kakiku. Ganti aja kamu yang nyetir.
Oman meriingis
sendiri. Tak disangka ternyata omongannya nyambung.
“Eh eh, awas ada
mobiiil!” Oman semakin usil.
Raden reflek
bergaya miring. Tanganya selonjor ke depan layaknya orang nyetir sepeda. Ia
tetap dalam dunia mimpinya yang mengadegankan bersepeda membonceng seseorang.
“Aman, Mas Bro!”
igaunya.
Oman teringat,
betapa Radenz takut dengan seekor Tikus.
Hehehe, kena loe, Den!, bisik Oman dalam hatinya. Kalau saja ini adalah
sebuah komik, mungkin sudah keluar dua tanduk di kepala Oman.
“Eh.eh awaaas, ada tikus lewatt…!” Oman berseru
lumayan keras.
Seketika muka
Radenz memerah. Kali ini tak ada sahutan. Sudah lewat beberapa detik tak satupun keluar reaksi dari Raden. Hanya
suara jarum merah jam dinding yang terdengar semakin jelas. Keheningan yang
terjadi juga membuat suara langkah kaki seseorang di luar kamar terdengar jelas
di telinga. Tak lama, sorot cahaya lampu senter samar-samar terlihat menembus
sela-sela pintu kamar. Oman dengan cepat menekan tombol off di lampu belajarnya. Ia segera pasang posisi
berbaring. Jam segini, melek di kamar adalah suatu hal yang terlarang. Belajar
pun seharusnya di lakukan di ruang belajar, bukan di kamar. Jangan sampai suara
kaki itu berhenti di depan pintu kamar, membukanya, lalu melihat sosok Oman
yang masih belum juga tidur.
Wajah Raden masih
tetap seperti kepiting rebus, memerah seakan menahan sesuatu. Sementara di luar
kamar, suara langkah kaki itu mulai berlalu. Oman bernafas lega. Ia kembali
bangun. Sebungkus garam itu masih berada digenggamannya. Ruangan yang gelap
membuat wajah teman-temannya terlihat samar. Ia menoleh ke arah Raden. Ada yang
aneh. Keringatnya perlahan keluar, membuat mukanya nampak mengkilat.
Perlahan ia
mendekat. M asa bodoh dengan keanehan Raden. Sekarang saatnya ia melaksanakan
aksinya. Mulut Raden sedikit terbuka. Tapi tak ada suara dengkur. Oman
mengangkat garamnya. Bersiap menuangkan butiran garam itu ke mulut Raden.
Perlahan. Ia melakukannya dengan hati-hati. Jangan sampai Raden terbangun
sebelum garam itu
mendarat di lidahnya.
“Whaaaaaaaaahhhhhh,,,, Tikuussss….. Tikuss… Whoiii tikus… whoii”, teriak
Raden. Ia terjingkat dari
tidurnya. Mencak mencak gak jelas. Tangan Oman yang tadinya bersiap menuang
garam terpental karena kesenggol jidatnya Raden. Alhasil, garam itu terlempar. Butiranya
menebar di udara. Dan akhirnya mendarat di mulut Ali dan Cak Kid, dua temennya
yang masih ngorok pulas.
“Hemm, kayaknya
kasinan deh” igau Ali. Mulutnya mengecap-ngecap.
“Bener Mas Bro,
tambahin aja kalo gitu airnya”
sahut Cak Kid yang mulut dan lidahnya juga ikut berkecap-kecap keasinan. Buset, nih dua anak malah ngigaunya
nyambung. Hadeehh.
Raden masih belum sempurna sadar. Ia lari gak jelas
ngalor ngidul. Kamar yang gelap membuat matanya gak ngelihat kalau Ali
dan Cak Kid sedang tidur melintang. Alhasil, terinjaklah kedua anak malang itu. Tangan Ali terlindas.
Jempol kaki Cak Kid yang cantengen juga ikut jadi korban. Mereka sontak
mencak-mencak terbangun dari tidur.
“Oi, ada apa ini
rebut-ribut” tanya Ali. Ia masih separuh sadar.
“Tikoss.. ada
tikoosss!” dengan cepat Raden yang sudah memojok di kamar menyahut.
“Hah, tikus?
mana? mana?” Cak Kid langsung
terjingkat. Beda dengan Raden, Cak Kid malah semangat empat lima ketika bertemu
tikus. Karena sering ikut anak khodam di sawah yang sering berburu hewan hitam
itu, otaknya langsung agresif ketika mendengar kata tikus. Dengan tangkas ia
meraih sebilah tongkat di bawah kolong lemari.
Begitu juga dengan Ali, ia
paling suka kalau ada tikus yang kepergok oleh teman-temannya. Biasanya mereka
rame-rame membawa tongkat untuk memburu tikus malang itu. Pukul sana. Pukul
sini. Tikusnya panik. Lari ke sana. Lari ke sini. Nabrak sana. Nabrak sini. Sampir
akhirnya tewas lah hewan malang itu.
Tapi ini lain. Tak
ada tikus. Hanya teriakan Raden saja yang menjadi-jadi karena fobianya dengan
hewan berbulu dan menjijikkan itu.
Ali meraih sapu dipojok ruangan.
“Ayoo..! pateni ae tikuse!” seru Ali.
Oman mengekeh tertawa. Wkwkwkw, bego banget! Orang tikusnya gak ada og sampek segitunya, bisik Oman
dalam hati.
“Itu lho
tikusnya!” seru Raden seraya
menunjuk-nunjuk ke arah gak jelas.
“Iya, itu tuh
tikusnya, pukul aja, kesuen!” sahut Oman, ia makin usil mengerjain
teman-temanya. Karena kamarnya gelap, dan otak mereka yang setengah sadar,
mereka percaya saja dengan omongan Oman. Ali merasakan ada yang aneh di
kakinya. Ia menginjak sesuatu. Semacam bungkus pelastik dengan isi pasir di
dalamnya. Tapi belum sampai ia mengambilnya, kaki Oman dengan cepat menggeser
benda itu. Jangan sampai kedoknya terbongkar.
Yap, garam itu
bergeser tempat lalu mengenai kaki Cak Kid. Sontak ia jingkat-jingkat.
Dikiranya itu tikus, ia dengan sekuat tenaga melayangkan pukulan.
Teriakan Oman
membuat Gaduh seisi kamar. Cak Kid yang tak sengaja memukul kaki Oman meringis
sendiri. Sementara Ali ketawa kepingkal-pingkal melihat kekonyolan kedua
temanya. Tak heran jika sejurus kemudian pintu kamar terbuka lebar. Sesorang
dengan badan besar terlihat geram di depan pintu. Lampu senter diarahkan ke mereka bertiga. Yap.
Mereka ketangkap basah membuat pelanggaran. meski sepele, tingkah mereka
sungguh keterlaluan.
Baca juga Mading Romansa versi pdf di sini:
This comment has been removed by a blog administrator.
ReplyDeleteAssalaamu'alaykum. Min, mau nanya. Buat komikya pakai aplikasi apa ya?
ReplyDelete