Wednesday, November 16, 2016

Cerpen: Selamat Jalan Teman!


Teman, kalian tentu tak ingin merasakan kehilangan bukan? Kehilangan seseorang yang berharga. Kehilangan indahnya kebersamaan. Kehilangan kekompakan, tawa, canda, dan cerita yang tak terlupakan. Sayangnya, tak ada di dunia ini yang abadi. Semua akan hilang. Semua akan pergi seiring berjalanya waktu.

Satu dari kami telah meninggalkan kami untuk selamanya. Meninggalkan semua cerita yang terekam kuat. Semua tentangnya benar-benar tak bisa untuk kami sembunyikan. Tak bisa kami sembunyikan dari rasa kehilangan yang sangat.

Teman, kami benar-benar kehilangan.

Farich Ramadhan. Sampai saat ini, hanya satu yang ia tinggalkan untuk kami. Satu yang membuat kami kembali meneteskan air mata. Mengalirkan cerita-cerita duka dan perjuangan semasa hidupnya. Teman, dia hanya meninggalkan sebuah kenangan. Kenangan yang tak mungkin kami lupakan.
Tepatnya, kenangan dua tahun silam.


***

Sabtu, 5 Mei 2012

“Aku benar-benar kecewa dengan kalian” ucap Pak Hasib. Suaranya berat. Sungguh menunjukan rasa kekecewaan yang sangat. Kami hanya bisa tertunduk diam. Membisu di ruang kelas berselimut ketegangan.

“Sudah berapa bulan pelajaran ini saya terangkan berulang-ulang. Tapi apa yang terjadi dengan nilai kalian. Tidak ada satu pun dari kalian yang meraih nilai standar. Gak ada yang lebih dari 50. Apa saja yang kalian lakukan selama ini??” kali ini ia melepaskan songkok hitamnya. Dia seperti lelah dan putus asa melihat wajah-wajah kami semua. Wajah-wajah yang tak bisa diatur.

Pak Hasib memang tidak biasanya marah karena kecewa dengan nilai kami. Itu semua terjadi setelah kami menjadi biang keladi atas kasus mbolos bareng yang mengakibatkan kelas-kelas lain mengikutinya. Kelas kami jadi dicap sebagai kelas terburuk. Dan kemarahan beliau semakin komplit akibat ulah kami yang membuat keributan di kelas satu jam yang lalu, sebelum Pak Hasib masuk ke kelas.

“Mana ketua Musyawarah kalian. Mana Farich?” suaranya kembali lantang. Entah karena saking marahnya atau saking lelahnya. Yang jelas dia benar-benar kecewa.

“Gaib, Pak” ucap Wahyu hati-hati. Dia takut jawabannya menambah marah Pak Hasib.
Farich memang absen pagi itu. Dan dia absen tanpa alasan. Ia pergi ke Surabaya. Itulah mengapa dia langsung dipanggil menghadap. Tepatnya setelah ia pulang dari Surabaya.

***

“Aku akui kamu pandai. Kamu rajin, dan patuh pada semua guru. Kau memang berbeda dengan teman-tamanmu yang lain. Karena itu aku maafkan kesalahanmu kemarin. Aku yakin kamu punya alasan yang dapat kau pertanggungjawabkan dengan absenmu saat ke Surabaya. Tujuanmu pasti baik”

“Terima kasih, pak” jawab Farich, pelan. Dia hanya menundukkan kepala. Tidak berani memandang wajah Pak Hasib.

Kali itu Pak Hasib memang memaafkannya. Itu karena perangai Farich yang begitu baik. Dia anak yang santun. Tak salah jika banyak guru yang mengenalinya. Di mata mereka tidak ada tinta merah dari catatan prilaku Farich.

“Tapi, Rich. Kamu tidak bisa seenaknya begitu saja. Jangan kau anggap permaafanku menjadikan kau bebas segalanya. Setiap kesalahan pasti ada sanksi. Santri sejati tentu akan tetap menjalankan sanksinya.”

“Insya Allah, saya akan menjalankan apa saja yang bapak perintahkan” jawabnya. Pandangannya tak sekalipun lepas dari arah bawah. Dia tetap menunduk.

***

Kebijakan dari Pak Hasib bukannya melegakan hati Farich. Dia malah mendapat respons buruk dari teman kami lainya. Tentunya mereka bertambah dengki kepada Farich. Selain seorang murid spesial kebanggan para Ustaz, dia berbeda haluan dengan sikap para teman kami sekelas yang suka berbuat ulah. Dia terasingkan dalam sebuah kebenaran.

“Lihatlah! si sufi kesiangan itu, dibayarin berapa pak Ustaz sampai dia luluh olehnya” ucap Jalal. Lagi-lagi dia ngegosib terang-terangan dengan teman sekitarnya. kali ini ucapannya sungguh menyakitkan karena ia bicara tepat di belakang Farich, tidak jauh dari tempat duduknya. Farich dengan sabar hanya membalasnya dengan sikap diam. Dia tidak merespons sedikitpun walau hatinya terasa seperti ditusuk pedang.

“Tauk tuh!, di kasih mahabbah kali. Dia kan suka wiridan. Calon dukun. hahahaha” sahut Amir, disambut dengan tawa teman-teman sekelilingnya.

Sudah lama Farich memang terasing dari teman-teman kami. Tepatnya mereka yang benci terhadapnya. Hanya beberapa saja yang tetap bersikap netral bahkan dekat padanya. Dia benar-benar menjadi korban iri hati dari teman sekelas.

***

“Sudah malam, Rich. Kamu tidak tidur?”

“Belum, aku belum ngantuk”. Dia memalingkan wajahnya dariku. Dia mengusap hidungnya. Perlahan aku tahu kalau yang dia usap itu bukan efek dari flu. Itu adalah darah.

Tidak, aku tidak akan menunjukan rasa ganjilku ini. Semangat dan ambisinya yang besar telah mengalahkan niatku untuk prihatin padanya. Aku tetap diam berpura-pura tidak tahu seakan tidak terjadi apa-apa. Padahal sebenarnya aku merasakan penderitaannya. Dia sedang sakit.
Malam itu adalah malam kelima semenjak Ia menghadap ke Pak Hasib sabtu lalu. Dan selama itu tak sekalipun ia terlelap setiap malam.

“Tapi, ini sudah tengah malam, sudah lewat jam satu. Kamu terlihat lelah”, bujukku supaya dia beristirahat.

“Tidak apa-apa. Aku masih kuat”, dia tetap dalam komitmennya. Kulihat kitab kecil itu telah lusuh tebasahi oleh keringat tanganya. Dan tangan itu selalu bergetar.

“Sudahlah! Kamu sudah berusaha dengan semampumu. Pak Hasib pasti akan mengerti. Aku yakin sanksi itu hanya untuk menambah semangat belajarmu. Kalau kamu sakit, siapa yang akan maju besok”

“Tidak, San. Pak Hasib sudah percaya kepadaku. Aku tak akan mengecewakanya dalam lomba nanti. Aku yakin, Ini akan menjadi lomba muhafadloh yang gak akan pernah terlupakan” sesekali dia terbatuk-batuk. Tak kuat menahan dinginnya tengah malam.

Ya Tuhan, sungguh aku tak bisa menahannya lagi. Matanya berdarah. Cairan itu merambat ke pori-pori kulit pipinya. Semakin cepat. Semakin menyentuh ujung bibirnya. Dan jatuh menetes.

“Aku tahu, Rich. Aku tahu matamu sedang sakit. Tapi aku tak ingin mengusik semangatmu. Sungguh aku bingung. Kenapa kau beri aku dilema semacam ini. Pekan lalu kau pergi ke dokter di Surabaya untuk memeriksakan matamu. Tapi mereka malah menuduhmu melanggar peraturan. Dan kenapa kau pergi sendirian. Seharusnya kau ajak aku mengantarmu ke sana. Kau terlalu egois menyembunyikan bebanmu sendiri” ucapku dalam hati.

“Astaghfirullah, Rich. Matamu! Matamu berdarah” Tiba-tiba saja Miftah muncul di depan
Farich. Sontak, dia terkejut melihat mata Farich yang mengeluarkan darah. Aku yang berada di sampingnya, yang sudah berpura-pura tidak melihatnya, langsung cepat-cepat mencarikan tisu untuknya. Tapi sayang, dia tidak begitu peduli dengan kondisinya sendiri.

“Sudahlah, aku gak apa-apa kok”, katanya seraya mengusapkan tisu itu ke ujung matanya. Ia tersenyum seakan tidak terjadi apa-apa. Tapi aku yakin itu senyum yang palsu.

“Mif, aku ingin ngomong sesuatu sama kamu” ia menatap ke arah Miftah. Ia adalah ketua tertinggi di kelas kami. Saat itu ia sibuk mengurusi buken akhir tahun kami.

“Kau mau ngomong apa?”

“Nanti bukennya dikasih juga foto teman-teman kita yang telah pergi mendahului kita. Seperti Kasroni dan Slamet” katanya yang masih sambil terbatuk-batuk.

“Tentu saja, itu sudah ada di rancangan buken nanti. Kenapa kamu bicara seperti itu?”

“Tidak, tidak kenapa-kenapa. Aku cuman ingin ngasih masukan saja” jawabnya datar. Entah kenapa dia tiba-tiba bicara tentang itu.

“Ya sudah. Aku tidur dulu. Sudah malam” ucap Miftah yang kemudian berlalu meninggalkan kami. Tidak lama aku juga beranjak membawa buku-bukuku ke kamar, meninggalkan Farich sendirian. Dan ia tetap dalam tempatnya. Di jerambah asrama dengan meja belajar yang panjang di depannya.

***

Jum’at, 11 Mei 2012.

Malam yang penuh keramaian. Seluruh santri berduyun-duyun menuju ke halaman madrasah sekolah. Malam itu adalah malam yang berarti bagi kelas kami. Dua delegasi kami harus menyabet dua poin juara pertama dari lomba muhafadhoh dan baca kitab dalam event class meeting yang diselenggarakan oleh OSIS dan ISMA, dua organisasi siwa yang ada di madrasah kami. Kalau dua-duanya juara, artinya kelas kami akan ada peluang untuk meraih juara umum dengan merebut beberapa poin lagi dari lomba lain di bidang olah raga dan pendidikan. Dan kami sudah optimis akan hal itu.

Semua teman-teman kami berlonjak girang saat melihat nilai Hikam sudah mencapai 800, sedangkan peserta yang lain gak ada mencapai nilai tersebut. Artinya dia yang menang. Dia adalah perwakilan kelas kami yang maju dalam lomba baca kitab. Sedangkan lomba muhafadloh diwakili Farich, sesuai instruksi Pak Hasib atas sanksi yang ia terima satu minggu yang lalu. Ia dihukum harus menghatamkan hafalan 1002 nadlom Alfiyah ibnu Malik untuk mengikuti event
class meeting. Padahal waktu itu hafalanya baru mencapai 600 bait saja. Artinya, dalam waktu seminggu ia harus menghafalkan 402 nadlom agar hafalanya hatam. Dan ia juga harus melancarkannya. Karena itulah ia sampai mati-matian mengafal nazam tersebut sampai harus terjaga setiap malam. Sampai kondisi tubuhnya menjadi lemah.

Berbeda dengan Hikam, di lomba yang ia wakili, bukanya mendapat dukungan dan sorakan dari teman-teman, malah mendapat cemoohan dan perkataan-perkataan sinis. Kalau menang ya syukur, kalau kalah bertambahlah cacian untuknya.

Dan keadaan semakin bertambah buruk karena Farich belum juga muncul pada malam itu. Sampai gilirannya tiba ia tidak juga maju ke depan. Tidak ada satupun teman kami yang melihatnya pada malam itu. Akhirnya kelas kami didiskualifikasi karena tidak ada delegasi yang mewakili. Hal itu semakin menambah geram teman-teman. Mereka marah tapi yang dimarahi sedang tidak ada. Dan bedasarkan kabar yang terlontar, ia sedang keluar ke Surabaya bersama Dian dan Noval.

***

Sabtu, Pukul 01:00 WIS Dini Hari.

Berita duka tiba-tiba sampai begitu saja ke telinga semua santri. Malam itu kami tidak bisa lagi melontarkan kata-kata sinis. Semua tak bisa berhenti meneteskan air mata. Tangis penyesalan terus terisak. Rasa sedih yang mendalam bercampur dengan ketegangan yang sangat. Satu dari tiga teman kami yang telah pergi ke Surabaya waktu itu mengalami kecelakaan. Sayangnya tidak ada satupun yang tahu siapa teman kami yang naas itu. Ia terjatuh dari gerbong kereta api sewaktu pulang ke pondok. Dan karena kecelakaan yang hebat, raut mukanya menjadi sulit dikenali. Hanya selembar kertas surat izin dari pesantren yang menjadi petunjuk. Tapi itu tidak cukup kuat karena dua teman kami yang lain masih belum ditemukan. Entah mereka masih hidup atau mati.

“Kita tunggu hasilnya besok. Semua pengurus pondok masih mencari dua teman kalian. Semoga mereka masih selamat” ucap Pak Hasib. Ia berusaha tegar meski tersimpan rasa kesedihan yang hebat.

***

Sabtu, Pukul 08:30 WIS

Matahari sudah memancarkan sinar hangatnya. Tapi kabar tentang teman kami masih belum juga ada perkembangan. Suasana di kelas sudah seperti rumah duka. Hampir setiap mata
mengalir menetes di ruangan kelas. Surat Al Ikhlas tak henti-hentinya terucap dari mulut kami. Semua masih tegang. Menunggu kabar terbaru tentang dua teman kami yang masih belum ditemukan. Mereka berdua adalah satu-satunya pentunjuk mengenai siapa satu teman kami yang kecelakaan semalam. Dan satu-satunya orang yang kami nantikan tentang kabar mereka adalah Pak Hasib.
Suara pintu di sudut ruangan berdenyit. Perlahan pintu itu terbuka. Tampak seorang yang kami nanti-nantikan akhirnya muncul di hadapan kami. Mukanya pucat. Matanya terlihat sayu. Raut kesedihan tampak begitu jelas di wajahnya. Perlahan ia menggigit bibirnya.

“Innalilahi wa inna ilaihi roji’un. Mari kita bacakan surah Yasin dan Tahlil untuk teman kita… Farich Ramadhan…” ucap Pak Hasib.

Tangisan kembali terdengar. Suara isak kami akhirnya berpadu dalam lantunan surah Yasin. Rangkaian doa bersahut mengiringi rasa bersalah yang mendalam.

Maaf kami, Rich! Kami benar benar menyesal telah memperlakukanmu kurang baik. Sungguh kami tidak bermaksud benci kepadamu. Rasa iri yang membawa sikap kami seperti itu. Maaf kan kami, Rich!. Kami gak akan pernah berhenti mendoakanmu. Mengenang
perjuanganmu telah menjadi api semangat bagi kami untuk memperbaiki diri. Kami janji akan meneruskan perjuanganmu.

Farich Ramadhan. Selamat jalan!

***

“Persiapan untuk peserta selanjutnya adalah, Hasan Syahrowadi dari kelas 1 Aliyah”. kudengar seorang MC telah memanggil namaku.

“Ayo, San! giliranmu sekarang. Aku yakin kamu pasti bisa” ucap Noval yang berada di sampingku. Ia menyikut lenganku sebagai simbol sebuah dukungan padaku.

Kubuka sedikit sebuah kitab nazam yang telah lusuh. Aku mencoba mengingat penggalan nazam Jawharul Maknun yang baru kuhafalkan semalam. Kitab Majmuk kecil ini baru pertama kali kubuka. Kitab kenangan yang selalu aku simpan. Aku tidak akan membukanya di depan juri nanti. Kitab ini hanya kubawa di sakuku untuk menambah kepercayaan diriku sewaktu tampil nanti. Kuharap nazam ini menjadi saksi bagiku. Saksi atas perjuangan temanku dua tahun yang lalu. Yah, kitab ini adalah kiitab yang sama dengan kitab yang dipegang Farich dua tahun yang lalu. Dan sekarang telah sampai di tanganku dalam event yang sama. Di event class meeting.

“Kau tahu kenapa Farich menitipkan ini padamu. Dulu dia hanya punya dua pilihan. Hidup
atau mati. Amanah yang diberikan Pak Hasib padanya membuatnya nekat meloncat dari kereta api. Karena itu jikalau akhirnya ia meninggal setidaknya ia punya sesuatu yang ia tinggalkan. Kuharap itu berarti bagimu”

Menurut keterangan Pak Hasib dari dua teman kami, Dian dan Noval, waktu itu mereka ketinggalan kereta. Dan mereka berniat untuk pulang besok harinya. Tapi Farich menolak. Akhirnya mereka terpaksa menaiki kereta yang memuat barang dari Surabaya. Sayangnya kereta itu tidak berhenti di stasiun Lamongan. Akhirnya dengan terpaksa Farikh memilih loncat dari kereta. Prediksinya yang akan selamat sampai ke pondok ternyata salah. Kereta itu terlalu cepat sehingga tubuhnya terseret dan jatuh tak terselamatkan.

***


Istahilagi
Langitan 2014
Untuk sahabat Kafafa yang terkenang, Abdur Rokhim. Wafat, 1 Mei 2012
Cerita ini hanya fiktif yang sebagian terinspirasi dari kisah nyata




5 comments:

Makasih telah berkomentar