Saturday, October 5, 2013

CERPEN: Ketika Tinta Bertasbih (KCB Versi Terbaru)


             
   Al Azhar. Nama yang mirip dengan Universitas di Kairo, Mesir. Memang ada kesamaan dalam segi pembelajaran. Di sini kami menekuni ilmu agama, begitu juga mahasiswa di sana. Dan Al Azhar yang kami tempati ini adalah sebuah pesantren kecil yang berdiri di tepi bengawan solo, tempat kami mengarungi samudra ilmu bersama kiyai.
                 Beribu kisah teruikir di pesantren ini. Mulai dari suka, duka, canda dan tawa, semua kami lalui bersama dengan para sahabat yang selalu setia bersama. Para sahabat terbaik dalam mengejar mimpi. Teman-teman terhebat untuk dapat berdiri. Dan kawan-kawan yang tepat untuk sharing hal-hal kecil. Yah, di sinilah semua kisah-kisah itu terjadi.

@@@
                Seusai shalat subuh. Seperti biasa, para santri mulai meninggalkan tempat peraduan mereka untuk melakukan aktifitas selanjutnya. Dan saat ini, hanya ada sebagian saja yang masih berada di musholla.
 “Lutfi..” terdengar suara Ihsan memanggilnya saat keluar dari musholla. Ia pun berhenti dan menoleh.
“hei, nanti habis ngaji Ihya’ kamu ikut ya! Ada acara tasyakuran di kamarnya Ali” sambung Ihsan.
“aduh, ma’af sekali aku ada kerja’an siang ini, kayaknya gak bisa datang, maaf ya” jawabnya.
“ayolah, masak diundang teman sendiri kamu tolak sih. Ya.., ikut ya!” pinta Ihsan dengan memohon.
“maaf san.. aku gak bisa. sudah, aku pergi dulu. Assalamu’alaikum..” ia pergi dengan tak acuh meninggalkan Ihsan yang terselimuti rasa kesal.
@@@
Pengajian Ihya’ Ulumuddin telah selesai. Acara tasyakuran akhirnya terselenggara meski tanpa Lutfi. Kami memang kecewa kepadanya. Dia tidak datang tanpa mengungkapkan alasan yang jelas. Padahal selama ini kita selalu berkumpul bersama.
“emang, biasanya dia ngapain sih waktu gini, kok kayaknya sibuk sekali” Ali membuka pertanyaan.
“semenjak dia nemuin sebuah tulisan pada secarik kertas waktu ro’an di sampah satu minggu yang lalu, dia jadi terobsesi dengan tulisan itu. Dan sampai saat ini dia sering menyibukkan diri di kamarnya” terang Ali sambil memakan jajan yang masih tersisa.
“emang tulisanya apaan” tanya ihsan dengan penasaran.
jika kamu bukan seorang anak raja atau Ulama’ maka jadilah seorang penulis, kira-kira seperti itu” jawab Ali.
“oalahhh, tulisan itu toh.. hahaha... ada-ada saja si lutfi, emang dia mau jadi apa? Penulis novel? kwakaka.. anak ingusan kayak gitu kok pingin jadi penulis, ngipi kali tu anak.” Crocos Ihsan dengan suara lantangnya.
hwahahah.. tuh anak memang begitu sifatnya. Ambisius.. eh gimana kalo kita kerjain, kita lihat seberapa besar ambisinya pingin jadi penulis.” Sahut noval 
“ok, ide bagus itu” sahutku dengan mantap menyetujui usulan Noval.
Semua setuju dengan ide noval. Kecuali mbah Hadi, kayaknya dia kurang setuju. Dia memang gak pernah nyari masalah sama orang lain. Tapi biarlah, dia gak ikut juga nggak masalah. Kita tetap akan mengerjai Lutfi.

                @@@
Malam sudah sangat larut. Sekitar jam satu-an. Di balik pintu kamar Lutfi masih terlihat cahaya lampu belajar yang masih meyala. Rupanya dia masih belum tidur. Dengan mulut sesekali menguap dia menarikan penanya di atas sebuah kertas. Tapi aneh, dia menulisnya pakek pena tutul. Masak menulis cerpen pakek tinta. Ah, masak bodoh, yang jelas kami akan menjalankan misi kami malam ini.
Satu, dua, tiga, klekg… lampu belajar tiba-tiba mati. keadaan menjadi gelap gulita. Lutfi pun terlihat gelisah. Dengan meraba-raba layaknya orang buta, dia mencoba keluar kamar untuk menyalakan sekring. tapi belum sampai di pintu kamar tiba-tiba lampu menyala kembali.
 Dan hal yang tidak diduga terjadi. Dia terkejut bukan kepalang. bangku belajarnya tiba-tiba acak-acakan. Semua kertas itu, tidak.., beberapa kertas yang terakhir ia tulis hilang, tintanya juga. jiaaahhhhh… siapa orang kurang ajar yang ngerjain aku, gak tau orang lagi pusing apa.. Hherrgggg… hatinya menggerutu gak karuan. Beberapa detik kemudian tiba-tiba lampunya mati lagi. Busyett, nih anak harus dikasih pelajaran, gumamnya dalam hati. Dengan cepat dia menuju ke arah pintu dan menutupnya rapat-rapat.
 “Hey bocah sialan.. keluar…! atau kulaporin kalian ke keamanan.. ayo keluar..”. Bentak Lutfi dengan keras membuat seisi kamar pada bangun. Sedetik kemudian seorang keamanan datang karena mendengar ada keributan di kamar.
“ada apa ini.. tengah malam ribut-ribut” Tanya kang Sholikin, panggilan keamanan itu.
“ Lutfi kang, dia yang teriak2 tadi” jawab Feri, teman sekamarnya lutfi yang tiba-tiba terbangun.
“a.anu kang, ada orang iseng yang ngerjain aku waktu nulis tadi..” jawab Lutfi agak panik karena orang yang ia tuduh tidak ada di kamar.  
“halahh, kamu ini ada-ada saja. Sudah tidur sana… sudah jam berapa ini, bangunnya susah gitu kok masih begadang saja” sahut kang Sholikin yang kemudian pergi dari kamar Lutfi.
@@@
Kwaakkakakakak…. Meski di tengah malam, tawa kami tak bisa tertahankan setelah kejadian itu. Akhirnya tuh anak berhasil juga kami kerjain.. kwhahaha…
“hei, enaknya tulisan ini kita apain..” Tanya Ihsan.
“ah, masak bodoh, kamu buang juga gk papa” jawab Noval enteng. Tanpa diduga ternyata Lutfi telah mendengar semuanya di belakang kami. kami Semua pun hanya bisa terdiam membisu
“lut, i..ini tidak seperti yang kau pikirkan.. kami Cuma..”belum selesai aku ngomong, Lutfi langsung menyahutnya dengan muka kecewa.
“kalian… tidak kusangka kalian melakukan ini. teman macam apa kalian” 
“dengar lutfi..! kamu telah berubah akhir-akhir ini. Asal kamu tahu, pekerjaanmu itu membuat kamu menjadi gila. Kamu menyendiri di ruang yang sepi.. marah-marah sendiri, dan gak pernah sekalipun kamu ngumpul sama kami ” ucap Ihsan dengan muka serius.
“kalian yang gila, apa maksud kalian melakukan ini..? aku benar-benar kecewa sama kalian”
“Apa.. dengan kertas-kertas ini kamu lebih memilihnya dibanding kami. Apa ini yang kau anggap teman.. hehh...  ” Ihsan mulai naik pitam. Dituangkannya tinta yang dipegangnya ke kertas-kertas itu. “ini.. ini kertas yang kamu inginkan.. kertas ini bahkan tidak layak untuk kamu tulis”.
“tidak.. k kamu.. herrraaarrggggg.. “ dengan ganas Lutfi menarik kerah baju ihsan. “hehgg Ihsan, sebenarnya aku tidak ingin melakukan ini. Tapi kamu yang mulai duluan” Lutfi dengan mukanya yang mulai terbakar tengah mengepalkan genggaman tanganya yang terarah tepat di depan muka ihsan.
“sudah,sudah.. lutfi, cukup” sahutku mencoba melerai mereka berdua..
“Hey apa apaan ini, tengah malam berkelahi di jerambah.. Lutfi Ihsan.. ikut aku ke kantor” tanpa diduga kang Sholikin tiba-tiba datang menghampiri kami. Ia pun membawa mereka berdua ke kantor.
@@@
Siang begitu panas. Matahari mulai berada pada waktu istiwa’. Kulit pun terasa seperti dibakar di tungku api. Ugghh panasss.. Aku jadi tidak tega melihat Ihsan dihukum berdiri di tengah lapangan. sejak tadi pagi dia berdiri di situ.. ihhhgg gimana rasanya ya.. hiighh aku gak bisa bayangin. Dan lebih parahnya lagi si Lutfi.. saat ini dia terbaring di kamar dan belum sadarkan diri. Yah, dia pingsan 30 menit yang lalu waktu berdiri bersama Ihsan. Sungguh malang nasibnya. Sebenarnya kamilah penyebab ini semua. Kalau saja kejadian tadi malam tidak terjadi. Mungkin ini juga gak akan terjadi. Maafkan kami sobat..
@@@
Sampai sore ini Lutfi belum juga sadarkan diri. Aku jadi tidak tega melihatnya. Ihsan yang duduk tersimpuh di atas bangku perpustakaan terlihat begitu menyesali dengan perbuatanya tadi malam. Lutfi, maaf kan aku. Sebenarnya aku hanya ingin kita bisa berkumpul bersama lagi, tapi tidak kusangka ternyata malah jadi begini, maaf kan aku lut.. Gumam Ihsan dalam hatinya.
“sudahlah san, kita berdo’a saja supaya dia cepat sadar” tutur Hadi mencoba menenangkan hati Ihsan.
“ya, semoga dia cepat sadar,” sambung Noval.
“aminn” ucap Ihsan pelan.
“Subhanallah,Lutfi.. hey kawan, sini...” aku memanggil kelima temanku yang berkumpul bersama di pojok ruangan perpus. Mereka pun dengan cepat menghampiriku.
“ ada apa sin, lutfi kenapa” tanya ihsan cemas.
“Lihat kawan, ini cerpen pertama Lutfi, ketika Tinta Bertasbih. Kemarin aku sempat minta satu cerpenya untuk aku posting di blog. Dan sekarang ada komentar dari penerbit Romansa press jawabku seraya membetulkan arah laptop agar bisa dilihat semua orang.
Saudara Lutfi, Cerpen anda sangat bagus. Kami suka dengan cerpen anda. kami punya tawaran untuk menerbitkan cerpen anda pada buku antologi cerpen kami. So’al royalti jangan khawatir. Uang pertama kami berikan 2 juta. Dan akan ada lagi setelah buku tersebut terbit.
Subhanallah… Jiwa kami bergetar hebat. Tidak seperti biasanya. Kami seperti terhambus angin segar dari nirwana.
“Lutfi harus tahu ini. dengan kabar ini, semoga dia bisa semakin membaik”, ucap Ihsan dengan semangat.
“kalau begitu tunggu apa lagi, ayo kita ke sana! Mungkin dia sudah siuman sekarang” sahutku merspon semangat Ihsan. Dengan wajah berbinar-binar kami beranjak menuju kamar Lutfi. Kami tidak sabar untuk menceritakan ini kepadanya. Menurut kami ini adalah sesuatu yang sangat berharga bagi teman kami. Semua jerih payahnya telah menuai hasil. Selamat kawan..! hari ini kau telah berhasil meraih sesuatu yang selama ini kau impi-impikan.
Langkah yang penjang membawa kami menyusuri bilik-bilik asrama. Fiugghh.. akhirnya sampai juga di lantai dua pondok “d”. Terlihat banyak orang keluar-masuk kamar Lutfi. Ada apa ini, muka mereka terlihat pucat dengan penuh haru, banyak air mata keluar di wajah mereka. Apa yang terjadi dengan lutfi…
                “dia sudah tiada, 5 menit yang lalu dia sempat siuman. Tapi kemudian dia muntah-muntah darah. Aku tidak tega melihatnya. Darahnya banyak sekali. Sampai akhirnya dia menghembuskan nafas terakhir untuk selamanya..” ungkap khaqin dengan suara terisak dan sesekali menangis.
“t.tidak.. Lutfi…..” sahut Ihsan parau. seolah tersambar petir, kami terguncang hebat mendengar berita itu. Terlebih Ihsan. Dia langsung berlari sambil membawa Laptop menuju kamar Lutfi.
“ Lutfi, kenapa kau.., hey bangunn lut, mana suaramu… kamu tidak mati kan.. lihat! aku bawa sesuatu buat kamu.” Dia membuka laptop yang di bawanya. “lihat lut! Seorang dari penerbit telah membaca cerpen kamu. Dia bilang akan menerbitkan cerpenmu. Lihat lutt.. lihat! Inikan yang kau impikan selama ini.. lut.bangun lut..” tetesan air mata tak kuasa terbendung mengaliri pipi Ihsan. Dia seolah tak percaya dengan semua ini. “lutfi.. maaf kan aku luut.. kita masih berteman kan” sambungnya seraya terus meneteskan air mata.
Suara tangis terdengar di seisi kamar. Kami pun tak bisa menahanya. Air mata kami sanggup katakan lebih banyak dari pada pesan yang disampaikan semua kata. Menurut kabar yang aku dengar selama ini dia menderita infeksi paru-paru, penyakit yang rawan bagi penderitanya sebuah kematian. Dan Akhir-akhir ini kondisi badanya menurun karena kurang tidur. Lutfi, tidak kusangka ajalmu sebegini cepat. Selamat jalan teman.. Semoga do’a kami selalu menemani langkahmu menuju singgahsana surga.
 @@@
Siang masih tetap dalam panasnya. Reruntuhan daun tak berhenti memenuhi halaman depan dalem Kh. Musthofa. Dan kini, Sudah lewat tujuh hari sejak dia pergi meninggalkan kami. Rasanya dia seperti masih ada di samping kami. Bersenda gurau seperti dulu kala.
“Tinta ini, adalah saksi nyata perjuangan sahabat kita. Dia pernah bilang bahwa tinta ini adalah wasiat dari kakeknya yang ingin memondokkannya di sini. Dan dia betul-betul menyimpan tinta ini” ucapku di tengah keheningan suasana bersama teman-teman di perpus.
“benar sin, tinta ini telah menemani perjuangan kawan kita. Dan betapa bodohnya aku karena telah mngusiknya” sahut Ihsan yang tiba-tiba menghampiriku dan mengambil tinta itu. “Lutfi, dengarlah! mulai saat ini aku berjanji akan meneruskan impianmu, yah aku akan menulis sepertimu.. tinta ini yang menjadi saksinya, izinkan dia menemani perjuanganku seperti dia menemanimu.” Sambungnya seraya memandang ke arah jendela luar.
“aku juga” sahutku setelah Ihsan berhenti bicara “aku juga berjanji akan meneruskan impianmu bersama tinta itu” sambungku seraya mendekat ke samping Ihsan.
“kami juga” tiba-tiba Ali, Noval dan Hadi secara bersamaan menyahut dan mendekat ke kami. “kami juga Lutfi, Izinkan kami memakai tintamu untuk melanjutkan impianmu” sambung Ali.
“kawan, mari kita mengukir janji kita dengan tinta ini.” Seru Ihsan. Tanpa ada perintah ataupun komando, kami tiba-tiba bersama memegang tinta itu.
“Lutfi, mungkin batu nisan telah memisahkan dunia kita. Namun ambisimu akan kami jaga selalu membara. Dan tinta ini adalah saksinya” ucap Ihsan seraya mengangkat tinta itu. Tapi.. oh tidak, sebuah kejadian tidak diduga terjadi. Tinta itu tiba-tiba jatuh ke lantai, dan menimpa selembar kertas.
“yaahh, tintanya tumpah” ucap noval.
“yaach.. habis deh” sambung Ali
“tapi kok tintanya encer” sahut Ihsan.
“hehe…, tadi waktu kupakek, gak bisa keluar tintanya. Lalu kutambahin saja air sebanyak-banyaknya” jawabku enteng.
“yaahhh, kamu ini.. sekarang jadi gak bisa dipakek tintanya” sahut noval.
“subhanallah…, lihat kawan kertas itu membentuk suatu tulisan timbul” ucap Ihsan yang membuat perhatian kami langsung tertuju pada kertas yang tertuang tinta tadi.
Maha suci Allah, kertas itu membentuk tulisan arab timbul berupa lafadz “Subhanallah”. Benar-benar kejadian yang luar biasa..ya Allah Engkau memang maha kuasa atas segalanya. Aku segera mengangkat kertas itu supaya tidak berada di bawah.
  “subhanallah.. ini luar biasa” seru Ali. Kami semua melongo melihat kejadian itu. Seperti ada sesuatu di balik tintanya lutfi. Kami seakan dibuat tidak percaya dengan kejadian ini. Benar-benar luar biasa..
“ya ampun.. aku lupa. Kertas itu yang tadi aku pakek percobaan ngeprint dengan tinta timbul. Yah, tadi aku ngeprint lafadz subhanallah. Memang awalnya gak kelihatan. Tapi setelah disetrika atau dipanaskan akan muncul tulisan timbul dari kertas itu” ucapku yang tiba-tiba teringat dengan tinta sablon itu.  jiaahhh, kekaguman mereka akhirnya pudar begitu saja gara-gara mendengar ceritaku tadi.
@@@
15 Tahun kemudian
Hari ini adalah hari yang istimewa bagiku. Sebentar lagi aku akan bertemu wajah-wajah perjuangan semasa di pesantren dulu. Yah, hari ini digelar acara haul ke 63 di ponpes kami, Al Azhar. Dan semua teman yang berhasil aku hubungi Insya Allah akan datang ke acara tersebut. Aku memang tidak pernah datang ke acara haul ponpes kami sebelumnya. Karena selama ini aku berada jauh di negri Yaman untuk melanjutkan studiku setelah di Pesantren. Aku jadi kangen sama mereka. Menurut kabar yang aku dengar Ihsan telah sukses menjadi seorang penulis Novel. Dia benar benar membuktikan janjinya yang dulu ia ucapkan kepada almarhum Lutfi.
    Acara hampir dimulai. Suasana pesantren penuh dengan para alumni. Dan aku hanya duduk di depan kamarku, melepaskan lelah setelah perjalanan lima jam dari Bandung.
“Yasin..!” terdengar seseorang memanggilku. kayaknya aku kenal dengan suara itu. Yah, benar itu suara Ihsan. Dia tiba-tiba muncul dari balik tempat wudlu.
                “Ihsan..! ya Allah apa kabar..” ku dekati dia seraya merangkul tubuh kurusnya yang tetap seperti dulu.
“baik sobat, hei dengar2 kamu sekarang aktif menulis di Yaman. Aku sudah baca buku-bukumu. Subhanallah hebat” ucapnya dengan senyum has yang tak bisa hilang sejak dulu.
“kamu juga. Menurut kabar yang aku dengar Novel religimu akan segera difilmkan oleh Romansa Picture, bearkah itu sobat? Subhanallah kau telah membuktikan janjimu yang dulu.
“biasa saja kali sin.. semangat Lutfi yang membuatku bisa begini. Dialah motifator hidupku”
“Hei yasin.. subahanallah akhirnya kamu datang juga, kemana saja kamu selama ini” tiba-tiba Ali dan Noval muncul di hadapan kami. Masya Allah, benar-benar kumplit rasa nikmat kami hari ini. Teman-teman lama akhirnya bisa berkumpul kembali.  dalam rangkulan kenangan yang terurai bahagia, kami akhirnya bisa bercanda tawa kembali seperti dulu kala. Ali sekarang telah menjalani karirnya sebagai seorang pelukis. Karyanya bahkan berharga jutaan dolar. Subhanallah.. meski bukan seperti yang di impikan Lutfi tapi dia telah berjuang dengan tinta. Yah, tinta atau cat, itu sama saja. Dia telah membuktikan janjinya.
Dan Noval. Dia sekarang sukses menjadi seorang designer. Terakhir kali aku dengar, dia mendapat tawaran mendesign lambang perusahaan yang baru berdiri di Jepang. Dan bayaranya sekitar 500 juta dolar. Subhanallah, tidak disangka.. kalau dipikir-pikir dia juga memenuhi janjinya. Karena dia berjuang dengan tinta printernya. Apa gunanya desainan tanpa media cetak. Dan sekarang, kami semua adalah para santri pejuang tinta. Yah, kami semua berdakwah dengan tinta. Setidaknya, langkah kami selalu kami niati untuk berdakwah. Karena itu adalah tujuan utama kami.
“hei, kayaknya kurang satu. Hadi mana, sejak keluar dari sini aku gak  pernah melihatnya di acara haul” seru Ihsan. Belum sampai kami melanjutkan pembahasan. Acara sudah dimulai dengan sambutan Master of ceremony. Kami pun segera duduk di aula. Sampai pada pertengahan acara, yaitu Mau’idhotul Hasanah, seorang bertubuh kurus tiba-tiba berdiri di depan hadirin. Orang itu, kayaknya aku kenal. Hadi.. yah itu hadi.. subhanallah dia sekarang jadi kiyai. Yah..Tadi Sang Mc menyebutkan namanya KH. Abdul Hadi dari bojonegoro.. subhanalah.
“Hadi, apa kabar kawan.. ke mana saja kamu selama ini” tanya Ihsan yang langsung merangkul Hadi.
“aku nerusin mondok di ponpes As syafi’i Widang Tuban. Aku bertekat tidak akan pulang sebelum aku memperoleh banyak ilmu” jawabnya
“subhanallah, selamat kawan kau telah memperoleh apa yang kau impikan. Tapi, hei.. mana janjimu dengan tinta itu. apa yang kau perjuangkan dengan tinta itu” tanya Ihsan
“Al ilmu fis Shudur wala fis Sutur” jawabnya enteng.
Semua terdiam. Tidak disangka dia tidak menggunakan tinta dalam perjuangan hidupnya. Dia menghianati janji itu.
“lakin bighoiri khibrin.. fa kaifa tudkhiluhu fi shodrik” ucap Ihsan pelan.
“subhanallah.. kalian benar kawan... selama ini ku goreskan tintaku untuk menulis ilmu dari kalam-kalam ulama’ di setiap lembar kertasku..“ sahut Hadi yang langsung bersambut dengan rangkulan kami berlima. Semua larut dalam tawa. Tawa yang sama seperti dahulu. Yah, kemi merasa seperti dahulu lagi.
“hei pak.. jangan pada berdiri di depan dong menghalangi pemandangan.....” ucap salah satu hadirin yang duduk di belakang.
“ups.. “

(cerita ini ditemukan saat otak sedang eror. Bersama teman2 yang eror. Dan pastinya untuk para pembaca yang mudah-mudahan ikut2an eror)

1 comment:

Makasih telah berkomentar