Satu
cangkir kopi sudah habis diseruput. Tangannya masih tak bisa berhenti
menggaruk-garuk rambut. Jadinya, rambut itu semakin acak-acakan. Sama kayak
tulisan yang baru separagraf diketiknya. Berantakan.
Sejenak
ia ngaso. Memainkan game di laptopnya. Tapi porsi bermain menjadi lebih banyak
dari berpikirnya. Ia lalu berhenti setelah merasa puas. Kembali lagi menatap
huruf-huruf kecil di layar.
Terpampang
di kepalanya gambaran sebuah latar cerita yang menakjubkan. Lalu, dengan alur
yang dibikin penasaran, ia yakin itu akan menjadi sebuah cerita yang keren.
Semangatnya berapi-api. Tapi, begitu meletakkan jari-jari di papan keyboard,
ia kembali mematung. Diam, tak bisa menuangkan sepatah kata pun.
Setelahnya,
ia mulai merasakan keraguan. Sepertinya cerita itu kurang tepat ditulis. Tanpa
pikir panjang, ia membuang idenya barusan. Kembali lagi merenung untuk menggali
ide baru.
Sebenarnya
ia tak ingin membuang-buang waktu untuk menulis cerita yang tak jelas. Tapi gara-gara
sesumbarnya tadi pagi, ia jadi harus membuktikan omongannya.
Hanya
gara-gara pagi itu, di sela-sela jam istirahat, Mukidi meledek temannya yg
sedang asik membaca novel. Kata-kata seperti; kurang ilmiyah, gak masuk akal,
pembodohan, kebohongan yang dinikmati orang-orang alay, bacaan mubadzir,
dan sebagainya, ia lontarkan dengan enteng.
Temannya
yang tak terima bacaan favoritnya diolok tentu saja membantah. Jadilah
perdebatan sengit antara mereka berdua di kelas. Adu gengsi tak terelakkan.
Ujung-ujungnya, tak ada juga yang mau mengalah. Mukidi suka bacaan ilmiyah
semacam; artikel, sains, buku biografi, terlebih buku-buku ilmu agama.
Sementara temannya yang bernama Wakijan lebih suka buku-buku fiksi.
Sejurus
setelah bersikeras meledek temannya, Mukidi lalu tersontak mendengar ucapan
pembalasan; "Penulis non fiksi biasanya hanya membutuhkan waktu yang
singkat untuk menyelesaikannya, tapi untuk cerita fiksi, mereka mencurahkan
waktu dan pikiran yang banyak sehingga hasilnya lebih banyak yang menikmati."
Langsung
saja Mukidi melonjak mendengar ucapan barusan. Tapi belum sampai balas berkata,
Wakijan sudah buru-buru memotong; "Aku bisa menulis tiga artikel dalam
sehari. Kalau kau mampu menulis satu cerpen saja dalam semalam, kau baru boleh
berkata apa saja sesukamu."
Merasa
terlecehkan, Mukidi pun langsung menerima tantangan itu. Dan lebih sombong
lagi, ia sesumbar bisa menyelesaikan
dalam sore itu juga, sebelum matahari tenggelam.
***
Sejenak mukidi
menarik kakinya, melangkah keluar. Sekedar jalan-jalan. Tidak berselang lama,
setelah ke sana kemari, akhirnya ia menemukan gambaran cerita yang menurutnya
bagus.
Hanya
karena melihat kupu-kupu terbang, lalu hinggap di sekuntum bunga, dan tak lama
nyawanya melayang karena seekor hewan pemangsa melahapnya, otaknya kemudian
bersinar kinclong. Seperti ada lampu kuning menyala di atas kepalanya.
Mukidi
bergegas kembali ke kamar supaya ide itu tidak hilang. Kembali ia letakkan
jemari di atas kayboard. Satu-dua paragraf lumayan lancar. Senyumnya
mengembang girang.
Sayangnya,
setelah sampai tiga paragraf, ia mendadak berhenti menarikan jarinya.
Pikirannya buntu lagi. Kembali mematung di depan laptop.
Dalam
hening ia merenungi sebuah pemandangan yang sejurus lalu disaksikannya. Tadinya
dia ingin menuangkan ide tentang hewan-hewan itu. Itu adalah potongan rantai
kehidupan yang unik untuk diceritakan, menurutnya.
Tapi
setelah dipikir-pikir, batinya kembali berkata lain. Ah, apa gunanya
berlama-lama membuang waktu hanya untuk memikirkan perihal yang tak berguna.
Hati Mukidi mulai syak. Menggumam kalimat penyesalan.
Sejurus
setelah perenungan, ia tarik arah kursor dari atas menuju ke bagian paling
akhir kalimat yang baru saja diketik. Tanpa pikir panjang, ia men-delete semua
hasil kerja kerasnya sejak berjam-jam yang lalu.
***
Bunyi
bel istirahat berdenting melengking di telinga.
Para siswa merombong keluar dari salah satu ruangan kelas dengan wajah
gembira. Gembira? Ya. Siapa yang tak gembira bisa ngaso dari aktifitas harian,
duduk di ruangan kelas dua aliyah, sambil mencerna penjelasan mantiq yang
memutar-mutar otak.
Seperti
yang diikrarkan pada hari sebelumnya, Mukidi yang sepanjang sore kemarin
mengetik cerita fiksi, sekarang bersua kembali dengan Wakijan. Saling menagih
janji.
"Kau
tahu? Entah fiksi atau bukan, dalam dunia sastra atau jurnalistik, yang nomor
satu adalah..." Wakijan yang memulai obrolan berhenti bercakap. Tangannya lebih
dulu menyodorkan tiga lembar kertas ukuran F4.
Tak
sabar menunggu ucapan temannya yang gak tuntas, Mukidi akhirnya menyahut
duluan; "Yang terpenting adalah pesan di dalamnya."
"Betul
sekali," jawab Wakijan spontan, "Tadinya aq mau ngomong itu,"
lanjutnya.
Sedikit
tertegun dengan pembetulan temannya, sambil menggaruk-garuk kepala, dalam hati Mukidi
bicara heran; 'kok pikiran kita sama ya..'
"Ini
karyaku, tiga artikel seperti janjiku kemarin. Kau juga sudah bikin kan?"
tagih Wakijan.
“Tak usahlah kau tanya, Wakijan! Aku sudah tentu mempersiapkannya.”
Keduanya
menyodorkan karya masing-masing -atau boleh dikata bertukar naskah. Terpampang
jelas sebuah judul unik bertuliskan; 'Cerpen Gak Jelas'. Wakijan tersenyum
setelah membaca sepenggal kalimat itu.
"Harusnya
kita sadar. Nilai dari sebuah karya bukanlah seujar kata komentar, apalagi aplaus.
Melainkan seberapa besar karya itu memberi manfaat bagi orang lain," ucap
temannya.
Si
penulis judul 'Cerpen Gak Jelas' mengangguk setuju. Ia sendiri memegang tiga
naskah artikel milik Wakijan. Baru saja Mukidi membuka mulut, hendak angkat
bicara, temannya buru-buru mengucap; "Penulis itu harus kayak kupu-kupu,
kawan! Gak cuma memberi keindahan bagi yang memadang, tapi juga memberi
kemanfaatan bagi kehidupan sekitar."
Mukidi mengernyitkan kening. Baru juga ia memikiran
hal itu, ternyata sudah dicakapkan oleh Wakijan.
“Ah, kau ini ... kenapa kau juga berpikiran
sama denganku, Wakijan?” celetuk Mukidi.
“Hei, berpikiran sama katamu? Apa kau juga
mengalami kebuntuan sama sepertiku, lalu jalan-jalan dan melihat seekor
kupu-kupu terbang hinggap di sepucuk bunga yang kemudian mati dimakan bunglon?
Apa kau juga berpikir untuk menjadikan pemandangan itu sebagai inspirasi
tulisanmu?” ujar Wakiijan panjang lebar.
Mukidi melongo. Tak disangka. Benar-benar
persis dengan pengalamannya kemarin sore. Lidahnya hendak angkat bicara, tapi
urung karena Wakijan kembali berlanjut cakap.
“Ah, kau bahkan tak akan berpikir bagaimana
seekor hewan cantik bisa membantu penyerbukan sekuntum bunga sebelum akhirnya
tewas. Itulah mengapa aku berpikir bagaimana sebuah karya bacaan ini bisa
memuat porsi kemanfaatan, bukan hanya keindahan, sebelum penulisnya hilang
hayat.”
Mukidi semakin melongo. Tak habis
pikir, jalan otaknya benar-benar sejalur dengan kawannya yang satu ini.
“K.k.k.kau... Jangan-jangan
tulisanmu ini cerpen semua. Benarkah?” tanya Mukidi, menebak.
Wakijan mengernyit dahi. Dia memandang
lamat-lamat sebuah naskah ditangannya. Dengan menampakan wajah tak percaya, ia
angkat lidah seraya menghadapkan naskah itu ke arah Mukidi;
“Ini artikel?”
Istahilagi
Langitan, 17 September 2016