Sejak dua puluh menit yang lalu Agus terus
mengipasi bara api itu. Matanya agak kelelahan
terhempas kepulan asap di depannya. Bau sangit yang menyeruak membuat tangan-tangan
jail itu tak mau berhenti baraksi. Kalau saja Agus tidak lebih tegas mencegah
mereka, mungkin sate-sate itu sudah ludes sebelum semuanya matang. Di ruangan
sebelah, teman-teman yang bertugas memotong daging malah berebut memilih lagu
di musik box. Entah mengapa ketika suara Iwan Fals berputar, mereka jadi
sepakat tidak mengganti playlistnya.
Aku yang bertugas menaruh sate-sate di pemanggang
sudah tak betah dari tadi menahan tebalnya kepulan asap. Meskipun begitu, kami
tetap asik melakukannya. Suasana seperti ini hanya bisa kami nikmati setahun
sekali.
"Semua memiliki jalan khidmah masing
masing." Tiba-tiba
saja Agus begumam dan langsung menghujam pikiranku.
Aku terjingkat.
Kalimat yang baru saja keluar itu menyangkut persis apa yang sedang kupikirkan.
Aku jadi sedikit curiga, jangan-jangan dia punya
kemampuan membaca pikiran orang.
"Kemarin Haris baru saja pindah ke
komplek barat. Ia resmi jadi pengurus sekarang. Kelihatannya mungkin enteng,
tapi dia memikul beban dan tanggung jawab yang berat," lanjutnya seraya
mengusap keringat di kening. Panas bara api itu memang sunggung membuat tubuh
gerah.
Aku tertegun. Sedikit merenung. Benar juga,
dari tadi pagi Haris belum juga beristirahat demi mengurusi perizinan para
santri. Ditambah lagi, tadi
malam ia harus mengkordinir jalannya lomba takbir keliling. Para peserta
perwakilan kompleknya ditanggungjawabkan secara penuh kepadanya. Ia melakukannya
mulai dari mengkonsep busana, mengatur segala properti, hingga menyediakan konsumsi untuk mereka. Setelah lomba selesai,
ia dan pengurus lain di kompleknya masih harus bekerja tengah malam membenahi
pompa air yang tiba-tiba saja macet. Penampungan air yang berada di samping
kompleknya itu harus benar-benar terisi sebelum esok tiba dan para jamaah dari
luar pesantren berdatangan melaksanakan shalat ‘id.
"Sudah enak dia. Tak usah izin
berbelit belit, bisa keluar," sambung Amir yang tiba tiba datang
menghampiri kami. Tangannya menenteng nampan kecil berisi belasan tusuk sate
dari ruang sebelah. Siap untuk dipanggang. "Beda
sama kita," lanjutnya.
Benar juga yang ia katakan. Dari
kemarin, teman-teman sempat cemas akan adanya isu tidak diperbolehkannya izin
keluar saat lebaran Idul Adha. Hingga tadi pagi, setelah
shalat ‘Id, aku
dan Anwar memberanikan diri datang ke kantor untuk memastikan kabar tersebut.
Rupanya kami keliru, mereka hanya menunda perizinan hingga hari H tiba. Pada
saat itu juga para santri bergerumun menuju kantor, minta surat izin keluar.
Seperti itulah, apa yang
kami jalani memang sulit ketika membandingkan dengan mereka yang tak perlu
berizin seperti kami. Tapi siapa bilang itu mudah. Meski tak ada peraturan
tertulis, mereka tidak selantasnya pulang pergi seenaknya. Sudah menjadi
tradisi jikalau pengurus hendak keluar jauh, tak afdhol jika
tidak sowan ke Romo Yai. Nah, saat itu juga perizinan akan
diperhitungkan kemaslahatannya. Tidak sedikit dari mereka yang akhirnya memupus
harapan demi mematuhi titah Romo Yai.
"Tenang saja, Mar! insyaallah, jika
kau ikhlas, Allah akan selalu membantumu.”
Seketika hatiku beguncang. Ada apa ini? Tadi
Agus yang sok menerawang pikiranku. Sekarang
Amir tiba-tiba saja nenghujamkan kalimatnya, tepat menyinggung kondisiku. Apa mereka
berdua mengerti? Secepat itukah Haris bercerita pada mereka?
Sejak peristiwa semalam, aku tak bisa lagi
tidur nyenyak. Otakku sibuk memikirkan apa yang akan terjadi. Benarkah aku bisa
melakukannya? Bagaimana jika tidak? Bagaimana
jika timbul kekecewaan? Yang lebih mengganggu lagi, pertanyaan
tentang, “Apa yang akan aku lakukan?” Pikiran itu terus saja mengerubungi
otakku.
Sebelumnya, aku masih bisa tertawa lebar. Bersama
teman sekelas, aku ikut serta dalam perlombaan takbir keliling malam itu. Kami
yang mewakili komplek timur, mempertunjukan permainan obor dengan menyemburkan
cairan minyak tanah dari mulut ke arah api sehingga menimbulkan semburan api
yang besar. Sementara di belekang, teman-teman dengan atribut pakaian ihram,
berbaris rapi seraya mengumandangkan takbir. Kami berkeliling ke seluruh penjuru
komplek dan desa sekitar.
Dengan adanya takbir
keliling, lebaran Idul Adha di pesantren menjadi nampak lebih meriah. Itu
karena ribuan santri masih menetap di pondok. Berbeda saat lebaran
Idul Fitri, hanya sebagian santri jauh saja yang masih tinggal. Selebihnya,
merayakan lebaran di rumah masing-masing.
Tak ada perasaan apa pun di benakku kala itu. Hanya saja Haris
sibuk mencari-cariku saat takbir keliling berlangsung. Ia tak tahu kalau aku
juga ikut di sana. Bahkan para peserta perwakilan kompleknya ia tinggalkan
sejenak demi mencariku. Sampai acara selesai, ia baru menemukanku di bawah
tangga komplek timur.
"Kamu dipanggil Romo Yai."
Seketika aku langsung bediri. Tak butuh
kalimat apa pun untuk menjawabnya. Dia segera pergi
menuju ndalem Romo Yai, dan aku berjalan mengikutinya dari belakang.
Langkahnya lumayan cepat. Saat itu juga otakku mulai tak karuan. Kenapa
tiba-tiba Romo Yai memanggilku? Hatiku semakin gelisah ketika menyadari bahwa
Haris telah mencariku sepanjang acara tadi.
"Tunggu di sini! aku akan menemui
khadamnya dulu."
Aku mengangguk. Dia beranjak menuju halaman
samping. Tak berselang lama, seorang pemuda bersongkok putih keluar menemuinya.
Mereka berbincang bincang sebentar. Pemuda itu terlihat santun. Belakangan aku
mengetahui namanya adalah Syarif, khadam Romo Yai yang baru sebulan mengabdi.
"Beliau sudah istirahat. Kita sowan
besok saja," ucap Haris padaku. Ia menolehkan kepala ke kiri, memberi isyarat
agar kami segera kembali.
"Apa yang beliau kehendaki?" Aku
mulai berani mempertanyakannya. Haris menghela nafas sejenak, lalu mengarahkan
pandangan ke arahku.
"Sepertinya tidak baik jika aku katakan
sekarang. Yang jelas, beliau butuh pengabdianmu di pesantren ini."
Seketika aku terhenyak. Pengabdian apa? Apa
yang bisa aku lakukan? Hatiku terus saja mepertanyakannya seakan-akan wiridanku
adalah pertanyaan pertanyaan seputar apa mungkin? bagaimana? kenapa? Sampai
menjelang subuh tiba, otakku masih tak bisa berfikir tenang. Teman-teman yang
sebelumnya merencanakan pergi ke rumah Yazid tidak lagi aku perdulikan. Tak
mungkin aku akan keluar pondok, sementara aku masih punya tanggungan sowan
kepada Romo Yai.
Setelah shalat id, Haris sudah siap di samping
mushola, menungguku untuk sowan ke Romo Yai. Beberapa santri dan alumni sudah
mulai bergerumun membuat barisan kelompok di depan ndalem. Masing-masing
membentuk sebuah kepungan yang terisi sekitar tujuh orang. Beberapa dari mereka
mengkordinir jalannya nampan berisi makanan yang dibagikan dari ndalem
agar terbagi secara merata.
"Kita tunggu saja beliau keluar dari
mushola," ucap Haris. Maksudnya, agar aku tidak ikut menikmati hidangan
itu dulu sebelum sowan ke Romo Yai.
Namun lagi-lagi kami gagal menghadap
beliau. Salah seorang santri memberi kabar bahwa Romo Yai sedang shalat ‘Id di
pesantren lain. Alhasil, bertambahpanjanglah
pertanyaan-pertanyaan semalam di pikiranku. Alih-alih mencari perhatian lain,
aku melanjutkan rencana teman-teman yang hendak pergi ke rumah Yazid. Di
rumahnya ia mendapat banyak jatah daging qurban untuk kami sate rame-rame. Oleh
karenanya, kami sempat akan nekat keluar tanpa izin sebelum akhirnya mengetahui
bahwa perizinan diperolehkan.
Tapi bukannya beralih pikiran, mereka malah
menambah panjang daftar pertanyaanku. Entah apa
yang membuat Agus dan Amir berkata demikian. Aku tak mau menambah
rumit. Segera aku beranjak mengambil nasi dalam kendil untuk menghindar dari
perbincangan dengan mereka. Sudah terlalu banyak sate yang matang. Saatnya makan
bersama.
Hanya sedikit ababa-aba, mereka yang berada
di ruang sebelah dengan cepat merapat. Satu nampan besar berisi nasi dan
puluhan tusuk sate itu dengan cepat dikepung oleh tujuh anak yang sudah lapar
sejak tadi.
"Betapa senang kau, Amar! Besok sudah
tak perlu lagi kesulitan izin seperti kami."
Sungguh kata itu begitu menohok. Tak
kusangka, bukan hanya Agus dan Amir saja yang sok tahu tentang urusanku. Di
sela-sela makan, Mahfud dengan entengnya berkata demikian. Ada apa ini? Kenapa mereka
kompak?
"Sudahlah, tak usah salah tingkah.
Kita sudah menginjak di kelas akhir. Wajar jika banyak di antara kita yang
diminta berkhidmah. Haris contohnya," lanjutnya. Sejenak ia menyikat
setusuk sate, lalu meneruskan kembali suapan nasi di tangannya.
Aku pasrah. Nampaknya mereka sudah tahu.
Tak masalah mereka tahu dari siapa. Aku Tak memperdulikannya. Hanya saja rasa
cemas dan penasaran tetap saja mengusik pikiranku.
"Dari mana kau tahu tentang itu?"
Aku mulai angkat bicara. Sebenarnya aku ingin sejenak melupakan perihal ini.
Mengalihkannya dengan menikmati sate bersama mereka kurasa hal yang tepat. Tapi
justru mereka malah membahasnya.
"Semua orang tahu itu," jawab Amir.
Aku menghela nafas. Kuhentikan sejenak
suapanku.
"Sayangnya aku belum tahu apa yang
akan kulakukan."
"Kau ini ngomong apa? Di kantor yang
seperti itu, belum tahu yang akan kau lakukan?"
Aku terperanjat. Sedikit terbengong
mendengar perkataannya. Seberapa jauh Amir mengetahui informasi
ini? Aku pun tak tahu perihal apa pun
mengenai kantor.
“Oh, mungkin kau belum tahu. Kantor itu
benar-benar butuh redaktur baru. Semalam Ust. Riski menghadap Romo Yai, meminta
restu untuk menarikmu masuk ke redaksi. Jelas-jelas tugasmu ya nulis. Mereka berharap
kau bisa berkhidmah di majalah pesantren kita.”
Istahilagi