Kesehatan
merupakn nikmat yang tiada tara
nilainya. Karena sehat adalah kebutuhan pasti bagi semua orang,
maka berbagai macam obat atau alat-alat kesehatan ramai diperjual-belikn. Salah
satunya adalah gelang dan kalung kesehatan. Barang ini selain menarik sebagai aksesoris/perhiasan, konon juga dipercaya mempunyai
keistimewaan bisa menghilangkan depresi atau keputus-asaan, memperlancar
sirkulasi peredaran darah, pencernaan, dll. Benda ini dibuat dari batu magnet
pilihan dari pegunungan. Dr. Thoshiki Yamazaki mengatakan, kombinasi dari 26
mineral oksida (disebut biokeramik) dari bumi ini dapat memancarkan biofir
murni. Dari sinilah mereka menyebut kalung ini dengan sebutan kalung biofir.
Lalu
yang menjadi pertanyaan, bagaimana hukumnya seorang laki-laki memakai kalung
atau gelang sebagaimana di atas?
Pada
dasarnya seorang laki-laki boleh memakai cincin meskipun dari perak (bukan
emas), bahkan sunah memakai akik (cincin yang ada matanya). Namun untuk perhiasan
lainnya sebagaimana kalung, gelang, dll, kebanyakan ulama melarang apabila terbuat
dari perak.
Adapun
untuk kalung dan gelang yang terbuat dari selain emas dan perak maka diperbolehkan
selama perhiasan tersebut tidak merupakan perhiasan khusus yang dipakai wanita atau
orang fasik. Namun apabila perhiasan itu termasuk trend yang secara umum dipakai
wanita atau orang fasik maka tidak diperbolehkan. Hukum tidak diperbolehkannya
di sini karena ada unsur menyerupai orang fasik atau wanita bukan karena
hakikat/keberadaan gelang itu sendiri.
Bagi
seorang muslim pemakai gelang tersebut, secara umum tidak termasuk menghilangkan
muru’ah atau kehormatan dirinya. Karena khalayak umum memahami hal itu sebagai
alat terapi. Namun apabila dalam pemakaiannya dikemas dengan kesan yang tidak
layak atau terkesan terlalu norak maka bisa menghilangkan muru’ah yang secara
otomatis berkonsekuensi tidak diterima persaksiannya. Ia dianggap ceroboh atau
kurang akalnya sehingga menurunkan kredibilitasnya dalam bersaksi. (Al-Majmu’ [4]:
444, Syarh al-Wajiz [6]: 26, Fatawi Kubra [1]: 262, Asna al-Mathalib [4]: 248)
Sumber: Majalahlangitan.com