Wednesday, February 25, 2015

Cerpen: Bukan Valentine


Hanya beberapa menit Alex menghelakan nafas di kamar, deringan hp sudah bergetar-getar di saku bajunya. Ia hanya malas menanggapi. Lebih semangat mencium aroma sedap dari luar kamar yang asapnya menari-nari di depan hidungnya. Juminten sengaja memasakkan makanan spesial anaknya hari ini.
“Hai, Lex! Bagaimana kabarmu”
“Bagaimana kau bisa tahu aku pulang”
“Hmm.. ya tahu lah”
Sejenak Alex mengintip ke luar kamar. Memeriksa apakah masakan Juminten sudah matang. Ia tak begitu peduli dengan percakapannya.
“Oh ya, gimana kadoku, udah dibuka belum?”
“Ha, kado apa?”, Alex bingung. Cuek.
“Masak belum diberikan. Tadi aku…”

“Lex! tadi temanmu ke sini bawa kado untukmu. Barangnya Ibu taruh di lemari”, suara keras Juminten menyela percakapan mereka dari balik ruangan. Spatulanya masih lincah mengoyak tumis sayuran di penggorengan. Membuat ruang perut Alex berontak menyuarakan nyanyian lapar.
“Tumisnya sudah matang, Bu?”
“lima menit lagi siap. Tinggal nunggu kamu selesai nelponnya”
“Iya, Bu. Aku ke sana sekarang”
Alex melangkah cepat ke dapur. Rumahnya yang kecil membuatnya lebih cepat ke ruang makan yang memang didesain sepetak dengan dapur.
“Lex! Hei kau masih di sana? Alex…”
Hp butut itu tertinggal di atas ranjang. Mambuat seseorang di ruang sana menggerutu kesal; Huffff, sial, aku dicuekin.
***
Suasana malam di kota itu memang terasa berbeda. Lampu kota terlihat lebih terang dari biasanya. Alex melangkah menyusuri ruangan. Memperhatikan barang-barang mewah yang terpampang dengan bandrol harga murah berdiskon. Matanya awas mencari barang-barang di sekitar, siapa tahu ada yang ia butuhkan. Tentunya cari yang harganya murah.
“Kau mencari apa, lex”
“Kenapa ada banyak yang didiskon di sini”
“Ah, biasa. Hari Valentine..”
Jacki terus melangkah. Ikut memperhatikan barang-barang murah di sekitarnya.
“Tapi ini kan toko buku dan peralatan sekolah. Gak ada coklatnya”
“Kau ini. Masa bodoh. Yang penting kita dapat buku murah hari ini”. Tangannya mulai memilah-milah kumpulan komik di rak pojok ruangan. Tidak jauh di belakang rak itu, Alex juga mengamati novel-novel baru.
Seseorang di luar pintu mengendap masuk ke tempat kasir. Berbicara sambil menunjuk-nunjukkan jarinya; Nggak pakek bobok, Mbak! Namaku Nina aja. Tapi tak usah Mbak sebutin namaku. Kasih ini  aja.
“Ku pikir kau jalan sama Nina malam ini. Kulihat dia sangat semangat sekali mendengar kau pulang. Bukankah dia tadi pagi kirim kado ke kamu?”
“Kau jangan gila!”
“Ha ha, aku bercanda, Lex. Aku tahu kau bukan tipe seperti itu. Statusmu beda sama kita-kita”
“Kau sendiri?”
“Tentu saja, aku menyambut kepulanganmu. Sudah lama kita gak ke tempat ini. Dan warung kopi itu, sekarang sudah gak nikmat lagi semenjak kau pergi”. Tangan Jacki berhenti pada satu komik Naruto terbaru. Tinggal menunggu Alex yang masih mencari novel kesukaannya. “Hei, kurasa malam ini kopi itu akan terasa nikmat kalau kita mampir ke sana”
“Aha.. Ide bagus. Kau tidak berubah rupanya dari dulu”
Alex sudah mendapatkan buku nevelnya. Tanpa cari-cari lagi, mereka berdua langsung menuju ke kasir. Ia memperhatikan semua barang-barang dipenuhi dengan gambar hati berwarna merah dan beberapa hiasan merah muda.
Satu buku Novel karya Tere liye ia sodorkan di meja kasir. Tepat di atas komik Naruto milik Jacki.
“Sudah ada yang bayar, Mas”
“Ha, siapa?” Alex terperanjat heran.
“Hmm.. Dia hanya memberi ini”
***
“Ha ha... kurasa di benar-benar menyukaimu, Lex
Mulutnya mulai mendesis merasakan nikmatnya sisa kopi di mulutnya.  Sesekali ia mengunyah beberapa potong gorengan ote-ote di atas meja. Di sudut sana seorang pria tengah mengaduk secangkir kopi. Selesai, pria itu berjalan menyodorkan cangkir yang dibawanya di depan Alex.
“Menurutmu begitu? Kupikir ini karena hari spesial yang kau bicarakan itu”
“Kau jangan berlagak bodoh. Semuanya tahu kalau Valentine itu bukan hanya sekedar memberi coklat. Apalagi diberikan pada orang tertentu. Oh, atau mungkin kau sudah banyak mendapat coklat sehingga tidak menyadarinya”, ia menyelidik.
Di sudut warung, seorang Pria pengaduk kopi itu berjalan mendekat. Ia hanya diam, tapi tangannya cekatan membersihkan noda-noda sisa makanan di atas meja.

“Hmm.... Nggak juga. Adikku membeli banyak coklat, tapi kami memakannya sendiri
“Yaah, kau ini” Lagi-lagi dia mendesis. Kopinya kini sudah tinggal separuh cangkir.
“Hei, mungkin kau bisa bercerita padaku tentang Valentine”
“Eee….” Jacki menggaruk kepala. Berpikir sebentar, lalu menghembuskan nafas. “Setahuku itu perayaan kasih sayang. Sebagai bukti kalau mereka sayang, mereka memberikan hadiah. Selebihnya aku tak tahu”
Pria pengaduk kopi itu terdengar berdehem. Nampaknya dari tadi memperhatikan percakapan mereka berdua.
“Sebenarnya itu bukan hanya sekedar hari kasih sayang”, pria itu mendekat. Lap yang dipegang kini ditaruhnya di atas bangku, di samping mereka berdua. Ia berjalan ke arah pintu. Hanya sebentar, lalu kembali lagi menatap mereka berdua. “Kau tahu, St. Valintine?”
Alex dan Jacki hanya bengong. Hanya garukan dan gelengan kepala yang mereka tunjukan. Tapi itu cukup membantu. Setidaknya pria itu bisa melanjutkan omongannya lagi”
“Valentinus adalah seorang martyl. Ia  menyebarkan agama Nasrani sehingga diberi gelar Santa, yang berarti orang suci”
“Pada tanggal 14 februari 270M, St. Valentinus dipenggal kepalanya karena menentang Raja Caludius II. Namanya kemudian dijadikan simbol ketabahan, keberaniaan dan kepasrahan dalam menghadapi cobaan hidup. Para pengikutnya lalu memperingati kematian St. Valentinus sebagai upacara keagamaan
“Upacara keagamaan katamu? Lalu kenapa orang-orang itu ikut merayakannya. Dan bukankah mereka malakukan itu untuk ungkapan kasih sayang”
Alex bingung mencerna ucapan pria itu, juga bantahan yang dilontarkan Jacki baru saja. Pria itu hanya tersenyum. Tangannya meraih kumisnya yang panjang, dan sedikit merapikannya. Sesaat kemudian mendekatkan wajahnya ke Jacki.
“Kasih sayang yah. Ya memang  itu perayaanya, setidaknya itulah yang terjadi di zaman sekarang. Jauh sejak beberapa abad silam upacara peringatan kematian itu sudah bergeser. Mereka lebih suka memperingatinya dengan hari kasih sayang. Karena itu orang-orang  di sekelilingmu juga merayakannya. Hari kasih sayang sudah lebih dominan dari perayaan aslinya”
Alex dan Jacki  lagi-lagi bengong. Kopi di dua cangkir itu sudah tidak lagi senikmat sebelumnya.
“Kurasa aku harus pulang malam ini” Alex merogoh sakunya.
“Biar aku saja yang bayar, Lex”
“Tidak usah bayar”, pria itu tersenyum.
“Hei, kenapa? Jangan bilang wanita itu juga menyuruhmu memberikan hadiah kepadaku”
Pria itu lalu mengeluarkan sebuah kotak putih berhias merah hati. “Ini untukmu. Kurasa dia benar-benar…..”
Alex dengan cepat menyerahkan kotak yang sama kepada pria itu. “Kembalikan ini semua. Katakan padanya; kurasa aku bukan bagian dari hari kasih sayang. Aku juga akan mengembalikan kado yang ada di rumah”
“Dia pasti akan terluka”, entah kenapa pria itu jadi ikut kecewa.
Jacki mengambil dua kotak yang berada di tangan pria itu. Ia lalu beranjak mengajak Alex pergi.
“Biar aku saja yang menyelesaikannya, Lex. Bukankah besok kau sudah balik lagi ke pondok. Kurasa kau tidak perlu pusing-pusing memikirkan ini. Akan kukatakan juga padanya bahwa kau sedang melewati masa belajar, dan tidak ingin terganggu. Kurasa dia akan mengerti”.

Duta Masyarakat-[Istahilagi]
Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment

Makasih telah berkomentar