Friday, October 17, 2014

Cerpen: Menggugat Kiai


Di atas bangku itu kau sandarkan semua perasaanmu. Tubuhmu lemas. Dan beban berat seakan mengolok-ngolok jiwamu. Sejenak kau memegang keningmu yang mengkilat karena peluh keringat yang keluar di kepalamu. Tampak jelas perasaan cemas dan ketakutan yang luar biasa yang kini sedang menjerat otak kosongmu. Kau lalu meletakkan buku itu di punggung tempat duduk yang ada di depanmu. Dan sekarang kau bebas melayangkan pikiranmu ditengah kobaran api penyesalan.

“Kau beruntung”, ucapku.
“Yah, aku memang beruntung. Mereka juga bilang begitu. Dan dada kiriku juga bilang seperti itu”.
“Lalu, apa yang kau sesalkan?”
“Tidak ada”
“Kau bohong”
“Apa urusanmu?”
“Harusnya aku yang tanya. Apa masalahmu?”
“Kau tak perlu tahu”
“Aku tahu, sebagian”. Sejenak aku terdiam mengheningkan suasana, sekedar untuk menghelakan nafas sesakmu untuk kemudian melanjutkannya lagi. “Sudahlah, kau beda dengannya. Integritasmu masih terjamin. Dia memang sudah biasa melakukannya. Kayak nggak tahu dia aja”.
“Apa menurutmu itu baik? Kau pikir dengan mengikuti ajakannya, lalu aku lolos itu baik. Aku masih mengingat ucapannya kemarin malam. Ah, sudahlah. Mungkin kau nggak ingin mendengarkannya”
“Ceritalah”
“Dia masih seperti biasanya. Sumringah seperti tidak pernah memikul dosa. Lalu dia tularkan prinsipnya itu padaku. “Nggak pa pa! Kau sudah menyadari ini terlarang. Dan kau siap menanggung resikonyakan. Itu sudah cukup untuk menjadi santri sejati. Jangan seperti mereka yang berdalih apa saja untuk lolos dari sanksi, dan tertawa senang ketika dalihnya berhasil mengelabuhi para kaki tangan Kiai”, begitulah ucapnya.”
“Tapi kau tidak berdalih untuk kebebasanmu kan. Mereka saja yang tidak tahu perbuatanmu kemarin”
“Bukan, bukan itu masalahnya. Bukan karena perkataannya yang membuat aku seperti ini, menyesal tanpa ujung. Tapi perkataannya itu yang akhirnya membuat aku terlempari oleh penyesalan-penyesalan ini”
“Apa maksudmu?”
“Kau mendengarnya jugakan, perkataan Kiai kemarin malam di mushola?”
“Tentu saja. Beliau melarang para santri untuk keluar di saat malam tahun baru. Dan kau melanggarnya bersamanya”
“Dan bujuk rayunya yang menyebabkan aku mengikutinya. Kini aku tersiksa dengan penyesalan itu”
“Apa kau menyesal karena perbuatanmu itu tidak tersanksikan?”
“Tidak. Tersanksikan atau tidak, yang jelas aku menyesal melakukan itu. Kau tahu, kenapa aku tersiksa seperti ini. Kau mungkin tidak sadar bahwa perbuatanku itu sepertinya kau rasa biasa saja. Dan kau mungkin juga sering melakukannya. Tapi lihatlah! Secara tidak langsung aku tidak terima dengan peraturan yang beliau buat. Kau Tahukan, beliau melarangnya kemarin malam? Dan perbuatanku itu telah menolak peraturannya, menyanggahnya seakan-akan menkritik perkataannya itu. Aku telah bertindak semena-mena. Kalau saja kiai tahu, tentu beliau akan marah besar”.
“Sudahlah, tidak hanya kau yang pernah mengalami itu. Kau lihat kan, bahkan peraturan selalu terlihat di mana-mana. Di tembok, di kaca, di buku, di mading, dan di telinga-telinga para santri. Tapi banyak yang tidak menghiraukannya. Bahkan tidak sedikit juga yang tidak merasakan adanya penyesalan setelah mengabaikannya. Kau masih mending!”
kau terdiam. Entah apa yang ada di pikiranmu. Kau menarik nafasmu, lalu perlahan menghempaskannya. Kulihat, kau seperti baru saja mengeluarkan gumpalan-gumpalan beban yang sejak tadi kau simpan di kepalamu. Sepertinya kau telah melepaskan penyesalanmu itu. Kau melegakannya mungkin karena telah kau ceritakan semua perasaanmu padaku, atau mungkin telah menemukan jalan keluar dari dialog kita barusan. Lalu kau melanjutkan perbincangan kita lagi.
“Kau pikir semua itu ada untuk diabaikan?”
“Ya tidak lah. Itu bagi mereka saja yang selalu menggugatnya”
“Syukurlah, kau tidak beranggapan seperti itu”
Sejenak, kau rapikan kerah bajumu yang terbasahi oleh keringatmu. lalu kau bersiap untuk beranjak pergi meninggalkanku.
“Lalu, apa yang akan kau lakukan?”
“Aku ingin ke kantin. Aku lapar dari tadi pagi belum makan. Jam istirahat masih 20 menit lagi, masih ada waktu”
“Maksudku, apa yang akan kau lakukan untuk menindak lanjuti permasalahanmu”
Kau tersenyum. Lalu menjawab pertanyaanku.
“Aku akan sowan ke Kiai. Lalu aku akan minta maaf atas perbuatanku kemarin”
by: Istahilagi
Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment

Makasih telah berkomentar