Aku masih berada di ruang yang gelap,
merengkuh tak berdaya. Di luar sana suasana sudah sangat mencekam. Deretan
rumah –juga rumahku- lima menit yang lalu, yang berdiri kokoh, kini sudah tak
tersisa lagi. Hanya tertinggal
puing-puing bangunan yang beberapa berlumuran darah. Bau anyir, apalagi,
tercium menyengat di setiap sudut kehancuran. Membuat banyak pasang mata tak
bisa membendung derasnya cairan-cairan kesedihan. Jeritan tangis beradu kencang
dengan suara ambulan yang datang. Rupanya sopir-sopir itu cekatan membawa
pasien-pasien ke rumah sakit. Bolak-balik tanpa kenal lelah.
Aku tahu di sudut sana ada potongan tangan ibu
yang berlumur darah. Ayahlah yang pertama
kali menemukannya. Ayah tahu itu dari cincin yang melekat di jarinya, yang Ayah
berikan saat hari pernikahan kalian dulu. Sungguh kali ini mata Ayah tak kuasa
menahan tangis.
Tidak. Jangan, Ayah! Tidak seharusnya Ayah
menangis. Bukankah Ayah lelaki yang tangguh. Ayah adalah seorang pahlawan. Kau Pahlawan
kami, Ayah. Satu jam yang lalu, sebelum Ayah sampai di tempat ini, Ayah baru
saja melakukan hal yang luar biasa. Mereka yang datang dengan raungan-raungan
menakutkan di udara, yang sesekali menjatuhkan rudal, juga barisan-barisan tank
yang siap membumi ratakan permukiman kita, Ayah dan pasukan lainya telah
membuat mereka menarik mundur tentara mereka. Bukankah itu menakjubkan?
Kenapa, Ayah? kau menggeleng. Apa Ayah
mendengarku? Tidak, tidak mungkin. Tidak mungkin engkau mendengarku. Ya ampun,
rupanya aku salah atas ucapanku tadi. Ayah benar, bukan Ayah yang melakukan
semua itu. Tidak sekalipun kecuali atas pertolongan dari-Nya. Ledakan itu. Bukankah
Ayah dan pasukan lainya tidak meledakkan apapun?
Sebelumnya kalian sempat khawatir terhadap
pasukan musuh yang berjumlah besar. Ayah dan para mujahidin lainnya sudah
terjepit. Itu adalah saat-saat genting yang paling menakutkan. Tapi tidak ada
satupun dari kalian yang merasa gentar. Kalian tetap berani menghadapi mereka.
Itu adalah sifat yang paling aku kagumi. Bahkan meski aku belum melihat Ayah
sekalipun, aku sudah bercita-cita ingin
seperti Ayah. Aku bermimpi bisa berjihat bersama kalian. Bukankah itu hebat,
Ayah?
Waktu itu Ayah dan pasukan lainya terus
berdo’a agar misi kalian berhasil. Namun naas, salah satu pesawat mata-mata
memergoki kalian saat kalian tengah memasang ranjau untuk meledakkan tank-tank
mereka. Tanpa menunggu beberapa menit lagi, pesawat itu pun langsung
menjatuhkan bom-bom tepat ke arah kalian. Tapi tidak disangka, kalian ternyata
masih selamat. Syukurlah rupanya Tuhan masih menghendaki kalian hidup. Itu
masih salah satu pertolongan dari-NYA. Aku tahu bahkan masih banyak lagi pertolongan-pertolongan
selain itu.
Tidak lama kemudian apa yang –sebagian dari–
kalian cemaskan pun terjadi. Tank-tank musuh mendekat ke lokasi di mana kalian
menanam ranjau tadi. Mereka berhenti tepat di atas bahan peledak itu. Itu
adalah hal yang menyedihkan. Tentu saja ranjau-ranjau itu tidak akan meledak
mengahuncurkan mereka. Kabel yang kalian ulur tadi telah putus akibat serangan
bom. Tentulah sia-sia meski mereka berada tepat di atas lokasi itu. Sungguh merupakan
pemandangan yang memilukan. Bahkan diantara kalian ada yang menangis. Sebagian
yang lain berdo’a: “Allahumma kama lam
tumakkinna minhum, allahumma la tumakkin lahum,” (Ya Allah, sebagaimana engkau tidak memberikan
kesempatan kami menghadapi mereka, jadikanlah mereka juga tidak memiliki
kesempatan serupa)
Ayah dan pasukan lainnya pasti yakin do’a
kalian akan didengar oleh Tuhan. Tidakkah Ayah tahu setelah peristiwa itu para
pasukan musuh ketar-ketir memboyong tentara mereka yang tewas akibat ledakan
itu. Mereka menarik pasukan dan pergi dengan kerugian yang amat besar. Tidak
disangka di tempat penanaman ranjau itu ternyata terdengar ledakan yang amat
dahsyat. Kalian pasti berfikir ranjau kalian telah berfungsi dengan ajaib.
Kalian ucapkan ribuan puja dan puji syukur kepada-Nya. Tapi kalian salah, bukan
itu keajaibannya. Ranjau kalian tidak meledak. Kalian masih melihatnya utuh
seperti sedia kala. Lalu, apa yang meledak? Wallahu’a’lam,
kalian tentu mengerti betapa Tuhan menyertai kalian.
Tapi betapa Tuhan juga sayang sehingga lantas
menguji Ayah dan pasukan lainya dengan berita yang tidak terduga sebelumnya.
Yah, rumah kami hangus terbakar oleh dentuman rudal yang terus memberondong
-seperti hujan besi- dari langit. Hampir semua permukiman rata dengan tanah.
Ibu sudah kepalang tanggung terjebak di dalam rumah, tidak bisa secepat mungkin menyelamatkan diri.
Apalagi gerakannya sudah tidak bisa selincah sebelumnya, karena aku yang
mungkin menjadikan beban baginya. Ah, tapi Ibu gak pernah merasa terbebani, dia
sangat sayang kepadaku. Itulah kenapa surga ada di telapak kaki Ibu. Betapa aku
sangat mencintainya meski tak sebanding dengan sayangnya ia kepadaku. Pengorbananya
begitu besar apalagi dalam masa seperti ini. Dan tentunya Ayah juga sangat
menyayangi kami. Terlihat jelas dari biasan air mata yang menetes dari pipi
Ayah.
Sudahlah, Ayah! Berhentilah menangis! Kau
sudah berjuang membela kami. Bukan berarti kami naas karena Ayah lalai menjaga
kami. Ayah bahkan mengemban misi yang lebih besar, membela tanah kelahiran kita
dari tangan-tangan zionis yang tak berperikemanusiaan itu. Andai saja aku bisa,
aku pasti akan memeluk Ayah. Mengucapkan banyak terimakasih, mengobarkan kata
semangat, dan tentunya membisikkan sesuatu ditelinga Ayah: “Aku cinta kau,
Ayah!”.
Aku masih ingat -ah, ini juga tentu hanya ingatan
maya- betapa bahagianya Ayah ketika mengetahui Ibu hamil pertama kali. Yah,
akulah itu. Oh, ya, Ayah pasti bertanya di mana tubuh Ibu sekarang, sedangkan Ayah
hanya menemukan sepotong tangannya. Jangan cemas, Ayah! Ibu sudah tersenyum
tenang bersama para syuhada’ lainya. Dan aku? Bagaimana denganku? Tentu saja Ayah
juga tahu, betapa aku tak sedikitpun mengenal gudang dosa yang sudah berumur
tua ini.
Di sebelah Ayah sekarang sudah berdiri
beberapa pasukan kuat yang gagah perkasa. Sudahlah, Ayah! Kembalilah berjihad
bersama pasukan-pasukan itu. Mereka telah menanti wajah semangat Ayah kembali. Tidakkah
Ayah tahu, mereka sudah sedari tadi mengevakuasi para syuhada’ sedangkan Ayah
masih larut dalam kesedihan. Baiklah, jika bebat kesedihan memang tak bisa Ayah
lepaskan begitu saja –tentu butuh waktu yang lama karena engkau sangat
mencintai kami- , setidaknya sekarang Ayah sudah bisa memandang kondisi kami.
Salah seorang dari pasukan-pasukan itu sekarang telah menemukan jasad Ibu.
Lihatlah, Ayah! Ibu tersenyum manis kan?
Lihatlah! Meski tangannya hanya tinggal satu, tapi dia tetap setia
mendekap perutnya. Senantiasa menjagaku meski tentu saja aku hanya mengikuti
nyawa Ibu.
*Sebagian cerita diadopsi dari kisah nyata keajaiban perang di Gaza
*Sebagian cerita diadopsi dari kisah nyata keajaiban perang di Gaza
Duta Masyarakat, 14 September 2014
Istahilagi