Pernah dengar nama Robi’ah Al-Adawiyah? Tentu saja, dialah
seorang perempuan kekasih Allah yang mempunyai tingkat kezuhudan yang, masya
Allah, luar biasa. Beliau adalah seorang wanita sufi yang beberapa kali
dilamar oleh para lelaki, namun ia menolaknya karena ingin lebih dekat dengan Sang
Khaliq. Salah satu
cerminan yang mungkin bisa kita tauladani adalah kerendahan dirinya yang ia
rasakan di mata Allah. Yaitu sebuah ucapannya yang berkata: “istghfarku perlu untuk diistighfari”.
Nah, semua tentu sering kali beristghfar bukan. Seusai shalat fardhu kita tidak lepas untuk membacanya.
Setiap hari kita beristghfar. Namun, adakah hati kita meminta ampun tatkala
bibir berkomat-kamit membaca lafadz tersebut? Mungkin tidak. Atau mungkin ia,
tapi selepas itu tidak lagi. Harusnya hati juga ikut beristghifar mengikuti
gerakan lidah. Tapi kebanyakan hati kita malah ngalor ngidul gak karuan. Iya
tidak?.
Di dalam keseharian, kalimat istghfar juga ngetren bagi para santri. Coba saja perhatikan, sedikit-sedikit kalimat istghfar keluar dari bibir mereka. Dikit-dikit istighfar, dikit-dikit istighfar, istighfar kok cumak sedikit, hahay. Tapi jangan salah dulu! Memang harusnya juga seperti itu. Kalimat istighfarlah yang seharusnya dingetrenin. Dari pada istghfarnya orang Jawa (ungkapan kerennya kata-kata jorok). Malah jadi perlu diistghfari nantinya, iya kan. Tapi agaknya istghfar juga sepatutnya disertai dengan rasa bersalah dan minta ampunan kepada sang Khaliq. Bukan hanya terucap doang.
Tapi Itu sih masih mending. Coba jika saja ada orang yang
benar-benar melakukan dosa lalu membaca istighfar, tapi istighfarnya cuman di
bibir doing. Artinya hatinya tidak benar-benar bertaubat menghentikan apa yang
telah diperbuatnya. Itu sama aja dia gak punya malu di hadapan Tuhannya. Atau Kalau boleh penulis ngibaratin nih, itu seperti
halnya kita minta maaf sama orang tapi ngomongnya sambil ketawa. “haha..
maafkan aku ya..! maafkan aku ya!”
Nah, semua analisis istighfar di
atas adalah sebagian contoh dari beberapa istighfar yang perlu untuk
diistighfari. Karena semua yang telah teruraikan tersebut bukanlah hakikat dari
istighfar yang sebenarnya. Tapi gaes, berdzikir yang seperti ini (meski gak sampai di hati) itu lebih baik, lebih mending, daripada gak berdzikir sama sekali. Karena lewat lisan siapa tahu hati kita juga akan tergerak.
Seperti yang diungkapkan KH. Ubaidillah
Faqih dalam pengajian Kitab Nashoihul Ibad. Mengucap istighfar merupakan salah
satu dari kriterium taubat nasuha. Dan itu juga memerlukan keriterium lain
yaitu menyesali dalam hati perbuatan dosa yang dilakukan, menyudahi pekerjaan
dosa tersebut, dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi.
Meski demikian, semua penjabaran
ini tentunya bukanlah merupakan makna subtansial dari istilah istighfar yang perlu diistghfari seperti
yang dikatakan Rabi’ah Al-Adawiyah. Tentunya istilah tersebut menjadi sebuah
pengaplikasian bagi mereka yang mempunyai tingkat kesufian yang tinggi. Mungkin
saking takutnya mereka dengan Allah, saking merasa banyaknya dosa kepada Allah,
sampai-sampai istighfar yang super seriuspun masih merasa istighfarnya perlu
diistighfari lagi. Entah dalam segi apanya. Yang jelas, yang harus kita lakukan
adalah tetap menyuarakan kalimat istighfar meski dengan berbagi kekurangan, tentunya
dengan berusaha melengkapi kriterium taubat seperti yang diungkapkan oleh Yai
Ubed di atas.
Istahilagi
Bias hijau Kafafa
(Semangat untuk teman-teman Kafafa)
Bias hijau Kafafa
(Semangat untuk teman-teman Kafafa)
nambah ilmu lagi, thanks gan, nice info
ReplyDelete