Kau tidak lagi segagah dulu,
pundukan otot di lenganmu yang dulu sangatlah kekar kini melembek. Dadamu yang dulu selalu membusung bahkan kini tak kuasa lagi untuk menahan berat kepala
dan lehermu. Memang dia itu kejam, telah sedikit demi sedikit merenggut apa
yang engkau miliki, rambut hitammu, kulit kencangmu, suara gaunganmu, tapi
sebelum ini kau masih tetap memiliki satu hal yang dapat membuat hidupmu
sedikit berarti untuk dijalani, iya kau masih bisa tersenyum, tanda bahwa
hatimu masih luas dan penuh semangat.
Kau pandangi langit-langit
rumahmu yang sudah lapuk dengan pandangan yang kosong, matamu nan sipit karena
lelah berpuluh-puluh tahun memandang semakin sayu. Kau tak pedulikan tiupan
angin sore yang menerpamu dari sela-sela sesek
rumahmu. Kau sudah terlalu dalam memikirkannya sehingga tiada kau hiraukan
apa pun yang ada di sekitarmu.
Sudah beberapa hari ini pula kau
menjadi malas makan, tubuhmu yang sudah kurus kini tinggal berbalut dengan
kulit tanpa ada seongok daging yang menghiasi. senyummu satu-satunya itu pun
telah kau tanggalkan, kau sungguh sudah tidak kuat lagi menahannya. Nampak dari
sinar matamu bahwa kau sedang melawan syetan yang membuat semangat hidupmu
menjadi hilang, kau kadang bisa menang dengan tidak menggubrisnya dan selalu
mencari apapun yang dapat membuatmu tesenyum, tapi kau tetaplah manusia, kadang
kau kalah tak berdaya menghadapi serangannya yang bertubi-tubi, kau lemah dan tak
semangat hidup, tergeletak tak berdaya di atas ranjang bambu yang setia
menemanimu berpuluh-puluh tahun.
“Diam kau, aku sudah bosan
mendengarkan ceramahmu.”
“Kau itu anak yang bagaimana,
tidak punya perasaan, apa kau tidak pernah mikir, kau pulang hanya untuk minta
uang, kau buat apa uang itu?, kata tetangga kau selalu main judi dan sering
terlihat mabuk-mabukan.”
“Kau ceramah lagi, bosan aku kau
ceramahi terus sejak kecil, tidak pernah kau menganggap aku ini benar, semua
salah di matamu . lihat itu sang putrimu yang selalu kau sayangi, kini dia
memberikan apa buatmu?, aku yang hanya kau anggap sebagai sampah sejak pertama
lahir tidak akan berubah setatus di matamu, sekali sampah tetap sampah,
seharusnya dulu kalau kau tidak menginginkan kehadiranku kau tidak usahlah
melahirkanku. Aku berbuat baik kau pun tidak bangga, tidak pernah kau merasa
bahagia, kenapa sekarang kau merasa malu kalau aku berbuat buruk.”
“Dengarkan itu, apa yang
diucapkan “pangeranmu”, bahkan dia berani membentak dan membantah orang yang
melahirkannya ke dunia.”
“Biarlah dia begitu, janganlah
kau marahi terus anak laki-lakimu itu, apa kau tidak lelah, sejak dahulu selalu
memarahinya, kau selalu menyalahkannya, semua apa yang dia perbuat selalu salah
di matamu. Apa kau tak sadar, bahwa kau telah dengan tidak langsung mengajari
anak laki-lakimu itu untuk melawanmu dengan selalu menanamkan kebencian di
dalam hatinya kepadamu.”
“Terus sana…bela terus anak
laki-laki kesayanganmu. Biar aku akan pergi saja”
Kau hanya bisa terdiam dan tiada
mampu menggapai tangannya untuk mencegahnya meninggalkanmu, sosok berambut
panjang yang berpuluh-puluh tahun ini telah menemanimu kini telah lenyap di
antara fatamorgana jalan desa. Dia pergi meninggalkanmu. Tapi apa yang dapat
kau perbuat, padahal niatanmu hanyalah untuk mengingatkannya agak tidak terlalu
membenci anak sendiri, kau juga sudah bosan dan tidak tega melihat anak
laki-lakimu yang sejak kecil seakan-akan menjadi anak tiri dari ibu kandungnya
sendiri, selalu dimarahi, tidak pernah dihargai apa yang telah menjadi
prestasinya.
“Begitulah, jika anak itu
terlalu dikerasi, dia akan malah mebencimu”, gumammu dalam hati.
@@@
Kini kau hanya sendiri, anak
laki-laki yang kau bela kemaren ternyata juga tidak seperti apa yang kau
harapkan, dia bukannya berterimakasih kepadamu, lalu memelukmu, tapi dia malah
ikut henyak dan dengan teganya meninggalkanmu. Kini memang kebencian yang
tertanam dalam hatinya telah mebutakannya, semuanya dia benci, dia benci
keluarga ini, dia benci semua orang yang ada di rimah ini.
Sejenak pikiranmu tertuju kepada
sosok wanita muda berparas ayu, berambut panjang dan hitam, sang putrimu
tercinta.
“Nak kemana kau sekarang?”
Anak perempuanmu yang selalu
mendapatkan perlakukan yang berlawanan dengan adik laki-lakinya itu sekarang
juga tidak kau ketahui rimbanya, dia terlalu dimanja oleh ibunya, sehingga kini
dia juga sangat susah diatur, bahkan dia jauh lebih parah daipada adik
laki-lakinya. Kabar terakhir dari tetangga yang melihatnya adalah dia sekarang
berada di desa sebelah yang terkenal sebagai desa yang menyediakan perempuan
sebagai pemuas nafsu. Anak perempuanmu itu katanya dijumpai sedang duduk
dipangku oleh seorang lelaki separu baya, dia berpakaian yang sangat seksi, dan
berdandan yang sangat menor, ya dia menjajakan dirinya. Lagi-lagi dalam hatimu
kau menyalahkan istrimu yang terlalu memanjakannya sehingga dia melonjak dan
sekarang tidak karuan.
Dadamu mulai menyempit, sesak
terasa dalam dadamu, kau seakan kesulitan untuk menarik udara ke dalam
paru-parumu. Dalam pikiranmu itu kau merasa telah menjadi orang yang paling
bodoh, kenapa kau biarkan dulu ibu mereka mendidiknya dengan cara seperti itu.
Perutmu mulai perih, seakan
tidak lagi mampu untuk beroprasi, detak jantungmu tidak lebih cepat dari jarum
detik yang ada di jam dinding di rumahmu, pelan memompa darah yang juga sudah
tidak jernih lagi karena sudah tidak dicukupi nutrisinya dengan makanan yang
bergizi.
Matamu mulai buram dan akhirnya
tertutup dan gelap. Kau taksadarkan diri. Dalam kesendirian kau tergeletak di
lantai rumahmu yang seakan sudah menjadi neraka bagimu, kini kau bisa apa.
@@@
Kau rasakan ada sapuan di
keningmu, kau buka matamu, kau lihat ada sesosok perempuan yang tidak asing
lagi di matamu, wajah itu sudah berpuluh-puluh tahun menemanimu. Sentuhan itu
juga sudah sangat kau hafal beul.
“Mas, kau sudah siuman?, kamu
sudah tiga hari ini tidak sadarkan diri.”
Dari matanya seakan dia memang
sudah sadar, dan tulus ingin kembali, dia juga sudah mebuktikannya dengan
merawatmu selama tiga hari ini.
Air matanya yang meleleh dari
mata sayunya juga sebagai penguat, bahwa dia benar-benar menyesal telah
meninggalkanmu. Tapi kau malah menarik nafas panjang dan kemudian memejamkan
matamu kembali, seakan kau belum bisa percaya dengan apa yang ada di depan matamu.
Hatimu yang dalam telah
menyuruhmu untuk memaafkannya. Tapi, seakan seluruh anggota tubuhmu telah
menolaknya kembali, ada rasa takut dalam hatimu, takut untuk menerima kenyataan
hidup, kegagalanmu memimpin keluargamu, mengarahkan istrimu, anak laki-laki
yang kini telah suka berjudi dan mabuk-mabukan, anak perempuan yang kini telah
menjajakan dirinya kepada setiap laki-laki hanya untuk mencari kepuasan dan
harta belaka.
Kau enggan lagi untuk menghirup
udara, hidungmu seakan sudah menyerah untuk kau ajak menghirup udara, lambungmu
juga tidak lagi bisa kau gunakan untuk mengolah makan yang masuk. Selalu apa
yang disuapkan selalu kau kembalikan lagi, semua anggotamu sudah tidak mau lagi
kau ajak bergerak, tinggal mata itu saja yang dapat kau paksa untuk melihat
dunia ini.
Di atas ranjang bambu, ditemani
dengan kekasih tuamu, kau hirupkan nafas-nafas kegundahan, nafas jatah terakhir
yang sebenarnya sudah tidak kau harapkan lagi, karena kau sudah menyerah untuk
bisa bertahan hidup, yang kau inginkan hanyalah lepas dari semua belenggu rasa
bersalah dan kebencian yang berada dalam
dirimu. Kau menyerah. Dalam nafas yang tersendak kau teringat akan satu
kalimat, “Lailaahaillallah.”[]
By: ufiy alpersie