Mungkin kita begitu terlena dengan pujian yang
disanjungkan mereka terhadap para santri yang hanya dengan keberadaan kita di
pesantren adalah sebuah keajaiban yang tidak dianugerahkan kepada sembarang
orang melihat zaman mulai menggila dan komersil. Adalah maraknya kemaksiatan
dan permasalahan negara di sebagaian besar lini kehidupan berbangsa satu diantara alasan mereka menaruh harapan
besar pada manusia pewaris nabi untuk mengentaskan problem yang di akhir-akhir
ini malah semakin menjadi.
Pertanyaanya : benarkah hanya dengan modok di
pesantren salaf kita mampu membenarkan khusnudzon mereka terhadap
kita.....?
Berangkat dari rangkaian kata yang membentuk
kalimat “ ulama’ warotsatul anbia’ “tulisan ini mencoba menaukidi atau menambah dari beberapa tulisan yang
bertemakan keprihatinan terhadap keadaan santri zaman sekarang.
Memang tidak dapat dipungkiri kecanggihan
dunia sekarang menawarkan serba instan pada semua hal, mulai dari alat
elektronik hingga merambat bagaimana caranya mendapatkan gelar orang berilmu
tanpa kepayahan. Maka janganlah kaget jika bermunculan para pedagang ijasah
sarjana dengan harga yang lumayan murah jika berbanding kesabaran menunggu
empat atau lima tahun, serta belum pasti ada jaminan mendapat ijasah sebagai
tanda kelulusan seorang mahasiswa.
Pentingnya ijasah di zaman serba aneh ini
memang tidak bisa dihindari, bahkan agar usaha da’wah para alumni pesantren
tidak berhenti di tengah jalan mereka juga terdaftar sebagai pembeli pangkat
sarjana atau yang sejenisnya. Padahal kalau kita mau memandang mundur sejenak
kenyataan masyarakat tempo dulu mereka lebih percaya pada pangkat K.H jika
dibandingkan dengan pangkat S, Dr, Prof atau yang sejenisnya, tapi hal ini
hampir punah dengan keadaan masyarakat sekarang. Bahkan masih belum beranjak
dari ingatan kita tentang program pemerintah yang menginginkan sertifikasi
terhadap para kyai dan imam masjid. Ironis memang.
Sebenarnya masalah di atas tidaklah begitu mengherankan,
karena keadaan di sekitar kita juga sudah mulai menandakan ke arah sana. Coba
kita tengok kesemangat santri model sekarang. Seolah -tanpa di sadari- kita
hampir menyamakan kegiatan belajar kita pada model sekolah umum yang sebagian
besar tujuanya adalah bagaimana bisa
lulus dengan nilai baik meski ditempuh dengan usaha curang dan tidak jujur.
Dengan dua kali semester dan empat kali ujian sekolah umum merasa mampu menilai
hasil pembelajaran mereka selama satu tahun. Tapi pantaskah pesantren kita
mejiplak model tersebut, mengingat santri sekarang sudah mengatakan iya tanpa
ucapan.
Jika kita mau mengamati, ternyata sebagian besar
dari kita hanya belajar dengan serius ketika UHT atau ujian semester datang
dengan harapan nilai raport memuaskan meski terkadang juga meniru gaya mereka,
yakni mencotek bangku sebelahnya. Maka secara tidak langsung perlahan kita
berusaha memunahkan musyawarah, tatbiq dan kegiatan berbau pendidikan lainya
–dari satu tulisan teman kita- yang hanya dianggap sebagai kegiatan ekstra.
Bahkan gaya belajar dengan buku terjemah juga mulai menjamur di kalangan kita.
Terus apa gunanya kitab kuning yang disajikan tiap hari...?
Usaha pemberian ijasah bagi santri purna
aliyah yang bertujuan agar santri tidak terburu-buru boyong atau ikut sekolah
terbuka agaknya perlu diimbangi kegiatan yang bersifatkan penyemangat
peserta didik pesantren agar tidak hanya tepaku pada raport atau ijasah sehingga
mematikan model kesalafan pondok kita seperti musyawarah, demam membaca kitab
kuning, dan di sana sini terlihat
pemandangansantri menghafal nadzom.
Akhirnya
kita hanya bisa berharap semoga dengan kesadaran kita terhadap sanjungan mereka
sebagaimana di awal tulisan benar-benar membangkitkan gairah kesalafan kita
sehingga memabukan kita memahami kitab kuning sebagai wasilah pangkat yang dihadiahkan
mereka terhadap para santri apa lagi kalau bukan “ calon pewaris nabi”. Wallahu’alam
bishoab
oleh
EMHA ANGKUSPRONA
oleh
EMHA ANGKUSPRONA