Monday, May 27, 2013

Daging Sapi Pak Lurah



Pernahkah kita berfikir bahwa dalam diri kita selalu terselimuti hawa nafsu yang terkadang kita sendiri tidak menyadarinya. Dalam satu sisi nafsu tersebut mungkin bisa dikendalikan, tapi di sisi lain nafsu itu bahkan bisa berkembang menjadi sebuah ketamakan. Pada akhirnya semua akan menjadi bumerang yang akan merugikan diri sendiri.  

Sejenak mungkin kita bisa belajar dari pengalaman seorang Raka ketika ia diundang oleh Pak Lurah untuk memimipin do’a pada acara Tahlilan di rumahnya. Menurut kabar yang ia dengar, pak Lurah telah menyembelih dua sapi untuk hidangan para undangan pada acara itu. Betapa girangnya hati Raka mendengar kabar tersebut. Ia pun mempersiapkan segalanya termasuk do’a yang akan ia perpanjang dalam acara tersebut.


            Sesaat sebelum ia berangkat sang istri menghidangkan makanan yang lebih lezat dari biasanya. Ia mengajaknya untuk menikmati masakan yang spesial ia persembahkan untuk suaminya tercinta. Namun apa kata Raka “ma’af  sayang, hari ini aku harus berangkat cepat, aku tidak ingin mereka kecewa karna menungguku”. Sebenarnya Raka sangat ingin sekali menyantap makanan itu. tapi ia sudah berfikir matang-matang. Kalau ia menyantapnya, maka ia akan kekenyangan dan tidak bisa merasakan lezatnya hidangan Pak Lurah.

            Akhirnya iapun berangkat meninggalkan istrinya yang penuh dengan rasa kecewa. Di tengah perjalanan tetangganya menyapa “hai, Raka, sini.! mari makan bersama kami, ada Kare Ayam, enak lho.!”. jujur saja sebenarnya ia merasa tergiur oleh Kare ayam tetangganya itu. Namun ia sudah berbulat tekad untuk menahan hawa nafsunya demi daging sapi yang disiapkan pak Lurah pada acara Tahlilan nanti.

            Dengan berat hati Raka meneruskan langkah kakinya menuju rumah Pak Lurah. Ia tetap menahan nafsunya, meski di tengah perjalanan ia bertemu dengan teman lamanya dan ia ditraktir olehnya makan di sebuah restoran. Namun sekali lagi ia menolaknya.

Sejak perjalanan dari rumahnya, Raka sebenarnya telah lama menahan lapar di perutnya. Namun ia tetap bersikeras untuk tidak makan sebelum acara tersebut berlangsung. Tepatnya sebelum makanan pak Lurah dihidangkan.

Tibalah Raka di rumah pak Lurah. Acara berlangsung dengan khidmat. Raka memimpin do’a dengan amat khusuk dan penuh tawadhu’. Ia sangat semangat saat membacakan do’a. Dalam pikiranya sudah terbayang-bayang daging sapinya pak Lurah. Begitu selesai, tibalah saatnya makanan yang dinanti-nantikan  dikeluarkan.
Betapa terkejutnya Raka melihat makanan yang dihidangkan pak lurah ternyata berupa sebuah bungkusan kresek (kantong plastik) yang berisi sebungkus mie instan, beras, air mineral dan beberapa jajan. Kabar dua Sapi yang disembelih pak Lurah ternyata untuk pernikahan anaknya besok. Sungguh betapa menyesalnya Raka mengingat sebelumnya ia telah menolak masakan istrinya, kare Ayam tetangganya dan traktiran temanya. Harapan memakan daging sapi kini hanya bisa menelan ludah dengan perut keroncongan.
Sobat, semua ini bisa saja terjadi dalam kehidupan kita. Dari sini mungkin kita bisa menata diri agar tidak mengharapkan bayang-bayang yang belum tentu kita dapatkan, sementara sesuatu yang sudah jelas-jelas di depan mata malah kita sia-siakan.    
 Istahil@gi; bias hijau Kafafa

Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment

Makasih telah berkomentar