Pernahkah
kita berfikir bahwa dalam diri kita selalu terselimuti hawa nafsu yang
terkadang kita sendiri tidak menyadarinya. Dalam satu sisi nafsu tersebut
mungkin bisa dikendalikan, tapi di sisi lain nafsu itu bahkan bisa berkembang
menjadi sebuah ketamakan. Pada akhirnya semua akan menjadi bumerang yang akan
merugikan diri sendiri.
Sejenak
mungkin kita bisa belajar dari pengalaman seorang Raka ketika ia diundang oleh
Pak Lurah untuk memimipin do’a pada acara Tahlilan di rumahnya. Menurut kabar
yang ia dengar, pak Lurah telah menyembelih dua sapi untuk hidangan para
undangan pada acara itu. Betapa girangnya hati Raka mendengar kabar tersebut.
Ia pun mempersiapkan segalanya termasuk do’a yang akan ia perpanjang dalam
acara tersebut.
Sesaat
sebelum ia berangkat sang istri menghidangkan makanan yang lebih lezat dari
biasanya. Ia mengajaknya untuk menikmati masakan yang spesial ia persembahkan
untuk suaminya tercinta. Namun apa kata Raka “ma’af sayang, hari ini aku harus berangkat cepat,
aku tidak ingin mereka kecewa karna menungguku”. Sebenarnya Raka sangat ingin
sekali menyantap makanan itu. tapi ia sudah berfikir matang-matang. Kalau ia menyantapnya,
maka ia akan kekenyangan dan tidak bisa merasakan lezatnya hidangan Pak Lurah.
Akhirnya
iapun berangkat meninggalkan istrinya yang penuh dengan rasa kecewa. Di tengah
perjalanan tetangganya menyapa “hai, Raka, sini.! mari makan bersama kami, ada
Kare Ayam, enak lho.!”. jujur saja sebenarnya ia merasa tergiur oleh Kare ayam
tetangganya itu. Namun ia sudah berbulat tekad untuk menahan hawa nafsunya demi
daging sapi yang disiapkan pak Lurah pada acara Tahlilan nanti.
Dengan
berat hati Raka meneruskan langkah kakinya menuju rumah Pak Lurah. Ia tetap
menahan nafsunya, meski di tengah perjalanan ia
bertemu dengan teman lamanya dan ia ditraktir olehnya makan
di sebuah restoran. Namun sekali lagi ia menolaknya.
Sejak
perjalanan dari rumahnya, Raka
sebenarnya telah lama menahan lapar di perutnya. Namun ia tetap bersikeras
untuk tidak makan sebelum acara tersebut berlangsung. Tepatnya sebelum makanan pak Lurah dihidangkan.
Tibalah Raka di rumah pak Lurah. Acara berlangsung dengan
khidmat. Raka memimpin do’a dengan amat khusuk dan penuh tawadhu’. Ia sangat
semangat saat membacakan do’a. Dalam pikiranya sudah terbayang-bayang daging sapinya
pak Lurah. Begitu
selesai, tibalah saatnya makanan yang dinanti-nantikan dikeluarkan.
Betapa terkejutnya Raka melihat makanan yang dihidangkan
pak lurah ternyata berupa sebuah bungkusan kresek (kantong plastik) yang
berisi sebungkus mie instan, beras, air mineral dan beberapa jajan. Kabar dua Sapi yang disembelih pak Lurah ternyata untuk
pernikahan anaknya besok. Sungguh betapa menyesalnya Raka mengingat sebelumnya
ia telah menolak masakan istrinya, kare Ayam tetangganya dan traktiran temanya.
Harapan memakan daging sapi kini hanya bisa menelan ludah dengan perut
keroncongan.
Sobat,
semua ini bisa saja terjadi dalam kehidupan kita. Dari sini mungkin kita bisa
menata diri agar tidak mengharapkan bayang-bayang yang belum tentu kita
dapatkan, sementara sesuatu yang sudah jelas-jelas di depan mata malah kita
sia-siakan.
Istahil@gi; bias hijau Kafafa