Tiba-tiba saja beliau
datang dengan tongkatnya sambil terbatuk-batuk kecil menaiki tiga anak tangga
di pintu utara sebelah timur mushola agung Langitan, aku yang menyandar santai
di daun pintu utara sebelah timur itu pun dengan segera menata sikap, duduk timpoh
atau semacam duduk iftirosy dalam sholat. Aku melihat wajah teduh
beliau begitu serius, semakin mendekatiku dan aku semakin dag-dig-dug, aku
memang selalu ndredeg ketika harus berhadapan langsung dengan orang yang
sangat aku kagumi dan aku muliakan seperti Mbah Yai, dan lebih ndredeg
lagi kali ini karena beliau yang datang mendekati.
“Awakmu kelas piro?”
Aku masih dalam kendredegkanku.
“Ke..ke..ke..las ka..leh
A..li..yah.”
Dengan terbata aku
menjawab, namun mungkin suaraku terlalu pelan yang entah kenapa tiba-tiba saja
dahak mengumpul di tenggorokanku seakan serak tak bisa jelas untuk bicara,
lagi-lagi sindrom ndredeg yang kerap melandaku.
“Kelas piro?”
Beliau mengulangi
pertanyaannya, dan aku pun mengulangi jawabanku dengan suara lebih keras
sedikit seraya berusaha agar ucapanku terdengar sejelas mungkin.
Wajah beliau tampak
begitu tegang saat sesekali aku angkat pandanganku, tapi lalu aku tundukkan
lagi, rasanya pantulan cahaya dari wajah beliau membuatku tak sanggup untuk
memandangnya langsung, apa lagi lama. Setelah itu beliau menyuruhku mengambil
kitab Fathul Mu’in karangan Syeikh
Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari yang terselip di antara jejeran
kitab-kitab kuning yang tertata rapi di laci mushola, kitab-kitab yang sebanyak
itu entah siapa tuannya, mungkin beberapa santri yang malas membawa kitabnya
kembali ke kamar setelah mengikuti pengajian. Sehingga untuk menjaga suasana
mushola tetap bersih dan rapi, disediakanlah laci-laci kecil itu di beberapa
bagian mushola. Sambil berjalan agak merangkak aku pun mengambil kitab itu dengan
terus dag-dig-dug, sibuk menduga-duga dalam hati, jangan-jangan aku dites baca
kitab oleh Mbah Yai, waduh bagaimana ini. Aku semakin takut sendiri.
Aku pun menyodorkan
kitab itu penuh ta’dzim, beliau membolak-balik halaman demi halaman
kitab yang sudah agak usang mungkin karena sudah terlalu lama tidak digunakan
oleh sang pemilik, atau malah pemiliknya lupa di mana dulu pernah menaruh
kitabnya, sehingga lama, tidak ketemu dan berdebu. Sesekali beliau meniup
debu-debu yang menempel ringan di kitab itu, aku masih menundukkan diri di
hadapan beliau yang duduk bersandar di tiang mushola, posisinya sama persis
ketika beliau membuka pengajian kitab-kitab kuning kepada para santri,
menghadap ke barat. Sementara itu, aku masih terus merasakan keteganganku tadi
yang berangsur-angsur hilang, mungkin Karen aura positif yang dipantulkan Mbah
Yai, sehingga aku pun merasakan kenyamanan dan ketenangan menghapus
keteganganku, karena memang ketika kita bersama orang alim yang dekat dengan
Allah pasti hawanya sejuk, damai, pokoknya sangat nyaman, dan itu aku rasakan
saat itu, saat aku berdekatan dengan Mbah Yai.
“Iki wocoen..!”
Aku tertegun,
ketakutanku terbukti, aku disuruh membaca barisan Fathul Mu’in yang masih kosong
itu. Aku tak mau mengecawakan beliau, aku tetap harus berusaha untuk mengeja
lafadz demi lafadz yang kayaknya belum sampai situ pelajaranku di Aliyah.
“Bismillahirrahmanirrahim...”
Detik-detik pertama aku
berada di titik aman, belum ada kalimat yang membuatku asing sehingga harus
tersendat. Aku masih menikmati bacaanku itu. Mbah Yai pun, saat sesekali aku
mendongakkan pandanganku, beliau seperti tersenyum simpul, dalam hatiku; “Semoga beliau puas dengan bacaanku.” Setelah cukup panjang qodliyah
kalimat yang aku baca, beliau pun memintaku untuk berhenti dan lalu kemudian
menjelaskan maksud dari apa yang aku baca tersebut. Kebetulan sekali bab yang
aku baca adalah bab zakat harta, dan terus terang saja, aku sampai sekarang
masih sering memegangi kepalaku karena pusing saat harus mencerna satu persatu
ungkapan-ungkapan yang berkaitan dengan bab ini, dan kali ini aku harus
menjelaskannya di hadapan beliau, Mbah Yai. Aku mulai terbata, karena memang
aku tidak yakin bisa, kalau sekadar terjemah mungkin aku masih bisa diandalkan
tapi murodnya, aku benar-benar takut.
Mbah Yai tampak
mengerutkan keningnya, seakan penuh tanda tanya, apakah santri-santrinya yang
lain juga sama sepertiku, tidak bisa menggambarkan sebuah keterangan kitab.
Kali ini Mbah Yai mulai angkat bicara, karena melihatku yang dari tadi hanya
terbata-bata, berputar-putar tanpa kejelasan. Aku semakin tertunduk, aku telah membuat Mbah Yai kecewa, terlihat air
matanya menggenang, seakan ingin tumpah dan menangisi santri sepertiku ini. Aku
hanya bisa mengiyakan dawuh-dawuh Mbah Yai, aku tak bisa berkutik lagi.
“Isoho rumongso, ojo rumongso iso..”
Dengan tanpa basa-basi
lagi, beliau meninggalkanku yang masih tertegun, menamparku dengan kekecewaan
yang tercermin di raut wajah beliau yang tampak menahan air matanya karena
kebodohanku. Dan aku, tiba-tiba saja air mata menetes perlahan ikut menangisi
diriku, menangsisi tangisan rasa kecewa Mbah Yai.
Aku memang selalu begitu, merasa puas dan merasa bisa, aku pun membenci sifatku
itu, sangat benci, tapi entah, tak bisa aku melawan itu.
“Mat...Mat...kamu kenapa
Mat...??”
Aku pun terperanjat, ibu
membangunkanku karena ibu melihat aku sesenggukan dalam tidurku.
“Istighfar...Mat....istighfar....”
Sambil ibu memberikanku
segelas air putih.
Ternyata aku mengigau.
Sudah hampir satu minggu ini aku selalu mimpi seperti itu, bertemu Mbah Yai,
disuruh baca kitab, tidak bisa dan lalu menyaksikan kekecewannya. Hatiku
benar-benar resah.
@@@
Dua minggu lalu aku
memutuskan untuk pulang, boyong, pasca kepergian Mbah Yai. Karena hampir
selama 40 hari dari kepergian beliau aku selalu menangis tiba-tiba saja, terus
merasa bersalah dan menyalahkan diriku yang selama ini menjadi santri yang
tidak bisa membanggakan Mbah Yai, bahkan lebih sering mengingkari kehendaknya.
Karena entah kesedehanku ditinggal Mbah Yai, atau karena penyesalanku yang
datang terlambat baru setelah Mbah Yai wafat, aku seakan kehilangan arah, aku
tak tahu harus melakukan apa, sampai-sampai belajar dan mengaji yang menjadi
kewajibanku begitu berat untuk aku jalankan. Hari-hariku berlalu begitu saja,
kutahan-tahan untuk tetap bertahan di sini, tapi aku tak bisa, aku sudah
benar-benar tak tahu apa yang harus aku perbuat. Setiap malam aku habiskan
hanya dengan menangis tak berguna di sisi pusara Mbah Yai, mengadukan
penyesalanku selama ini, bukan tambah selesai, tapi semakin hatiku rapuh, remuk
tak berkeping.
Dan, rasa sesalku juga
karena sejak tahun ajaran baru lalu yang sebenarnya aku sudah berniat untuk
berusaha melanggengkan untuk sowan pada beliau, tak lain ingin
mendapat luberan berkah juga rasanya ingin sekali dikenal beliau, meski hanya
kenal wajah, syukur-syukur bisa mengenal namaku. Tapi aku pun sadar, bagaimana
beliau akan mengenalku, sementara aku tak mengenal beliau, tak tahu apa yang
beliau mau padaku, tak tahu karena aku yang selalu tidak mematuhi beliau,
diam-diam selalu mengecewakan beliau, membuat air mata beliau dan menyakiti
beliau. Belum dua minggu aku menjalankan misiku untuk melanggengkan
sowan beliau, dengan baju yang sama, waktu yang sama, agar lebih mudah untuk
diingat oleh beliau, aku harus mendengar berita beliau jatuh sakit, hingga
sakit itu lama, lama sekali. Bersamaan itu, hatiku juga semakin sakit, bukan
sakit hati, tapi hati yang mengidap penyakit, karena lama dawuh-dawuh Mbah Yai tidak menegurku, karena lama wajah
teduhnya tak menyejukkanku, sehingga hatiku kering kerontang, kosong tak
terisi.
Aku manahan rindu akan
kesembuhan Mbah Yai, yang juga menjadi do’a santri-santri Mbah Yai yang lain,
entah rasa rindu itu begitu terasa, bahkan sangat terasa, membuat
langkah-langkah kecil yang didorong oleh niat-niat nakal mencoba menembus
peraturan-peraturan yang pernah ditetapkan Mbah Yai berangsur pudar, meski
sulit jika harus sirna begitu saja.
Berhari, berganti minggu
dan bulan, Mbah Yai masih dalam kondisinya. Membuat rindu itu semakin menggebu,
membentuk satu nostalgia, memutar memori saat beliau dengan segala kesabaran
dan ketelatenan menemani para santri-santri bandel sepertiku, dawuhnya yang
menenangkan, senyumnya yang menyejukkan, semua itu rasanya ingin agar segera
kembali.
Namun, sungguh seakan hari
itu kiamat, angin berhenti, langit mendung kelabu dengan tangisnya yang
membisu. Memulai hari-hariku yang hampa, yang penuh duka nestapa, penyesalan
yang tak pernah ada hentinya, yang mampu merubah segalanya.
Dan setelah 40 hari aku
menahan kegalauan hati yang begitu dahsyat, yang melumpuhkan segala kebisaanku
untuk tetap bertahan hidup, aku pun sowan kepada para masayikh,
putra-putra Mbah Yai yang kini melanjutkan estafet perjuangan Mbah Yai. Awalnya
aku tidak diperkenankan pulang, dan aku pun berkali-kali mencoba bertahan
sebagaimana yang didawuhkan para putra Mbah Yai, aku tidak bisa, hingga
akhirnya aku diizinkan untuk pulang dengan catatan harus kembali jika semua
sudah pulih. Aku pun masih sangat cinta dengan Langitan, aku pun masih ingin
bisa kembali lagi, tapi tidak untuk saat ini. Aku benar-benar tak sanggup.
@@@
Setelah mimpi itu, aku
atas hasil musyawarah keluarga, memutuskan untuk kembali ke Langitan, sebab
sepertinya Mbah Yai begitu kecewa padaku yang putus di tengah jalan begitu saja
hanya karena kepergian beliau, Mbah Yai tidak ingin aku menjadi orang yang
setengah, sehingga aku harus tetap kembali, aku tak mau jika akulah menjadi
penyebab berlinangnya air mata Mbah Yai, aku ingin Mbah Yai bangga dan
tersenyum di sana melihat santri-santrinya, cukup aku mengecewakan Mbah Yai
selama ini, jangan terulang lagi kebodohanku. Aku pun kembali ke Langitan, aku sowan
dan menyampaikan perihal mimpiku tempo hari.
Keyakinanku semakin
mantap untuk kembali melanjutkan belajar di Langitan, dan itu disambut luar
biasa setelah aku sowan, bahkan beliau salah satu putra Mbah Yai
menghendaki aku agar ikut di ndalem, ikut membantu keluarga Mbah Yai
dalam hal apa saja yang butuh dan bisa aku lakukan. Aku untuk kembaliku yang kedua ke Langitan, kini
aku memutuskan untuk berkhidmah pada keluarga Mbah Yai, karena aku tak mau
mengulang kedua kalinya, menyesal untuk kesekian kalinya, tidak bisa berkhidmah pada Mbah Yai waktu
itu, sekarang saatnya aku melakukan sesuatu bagi keluarga Mbah Yai.
Dan, mimpi itu, aku
berjanji untuk tak lagi membuat air mata Syaikhina.
Pojok Kesan
Langitan, 17 Desember 2012
Oleh Adi Ahludzikri
( penulis adalah salah seorang anggota redaksi Majalah Langitan dan Majalah Harokah)