seorang santri selalu saja memiliki sebuah ciri khas yang bisa
mengeluarkan kesan yang berbeda dari orang-orang lainya. Ibarat sebuah
tanaman hias yang tetap kentara meski tumbuh di tengah hutan sekalipun. Mereka
seperti memiliki sebuah identitas tersendiri akan status yang mereka sandang. Sebuah
identitas yang sekaligus menjadi mahkota harga diri mereka.
Perlu diingat bahwa Identitas
santri bukan hanya sekedar tanda pengenal yang tertulis dalam selembar kartu KTS,
lebih dari itu terdapat sebuah simbol yang menampakan ciri khas seorang santri,
yakni sarungan dan kopyahan(baca : memakai sarung dan songkok). Setidaknya
tidak usah dipertanyakan lagi jika sarung dan kopyah adalah pakaian wajib bagi
kaum santri di lingkungan pesantren. sayangnya hal itu tidak banyak berlaku
bagi santri ketika sudah beranjak dari kawasan suci tersebut. Sering para santri saat berada di
luar area pesantren, mereka dengan santainya melepas sarung dan kopyah, lalu menyulap keduanya menjadi
celana jeans yang lebih gaul. Apalagi pada musim-musim liburan. Busana sarung dan kopyah mungkin hanya
akan dipakai ketika hendak sholat atau menghadiri kundangan. Dengan demikian
masyarakat sekitar bahkan tidak bisa mengenali kalau mereka adalah santri.
satu diantara penyebabnya adalah munculnya
rasa gengsi untuk menampakkan busana yang mereka anggap tidak sesuai dengan
lingkungan luar.
Yah..kata itulah yang biasa dipakai alasan untuk meng-qulibat sarung
dan kopyah menjadi celana jeans atau skeater yang nampak trendy. kebanyakan santri
tersebut gengsi memakai sarkop (sarung dan kopyah) ketika sudah bergaul dengan
komunitas non sarkop, itu karena santri tersebut tidak pede menjadi diri
sendiri, akhirnya ikut-ikutan menjadi non sarkop. Bahkan ada pula yang menutup-nutupi
kegengsianya dengan dalih beradaptasi dengan linkungan.
Gengsi juga biasa terjadi ketika
seorang santri diolok-olokin (digojlokin) oleh teman-temanya yang notabenenya
bukan kalangan santri. Akibatnya santri tersebut jadi minder dan enggan memakai
sarung. Ironis memang,
seorang santri yang biasanya menter terhadap segala macam gojlokan, dalam
kasus ini ia tak bisa mempertahankan pendiriannya sehingga dengan mudahnya termakan
oleh gojlokan mereka.
Santri juga sering merasa gengsi ketika memakai sarkop di
tempat umum seperti pasar atau supermarket. Santri ini merasa kalau dirinya
dianggap norak alias kolot. Itu mungkin karena tingkah lakunya yang terkesan
“unyak-unyuk” sehingga orang yang melihatnya menganggap dia kampungan. Kalau
saja santri tersebut bisa bertingkah lebih sopan dan elegan, niscaya
orang-orang akan menghormatinya layaknya menghormati seorang ustadz ataupun
kiyai.
Kalau sudah demikian, akankah seorang santri pantas dikatakan santri jika
dengan kesantrianya sendiri saja ia merasa gengsi. Dan akankah tradisi gengsi
akan terus menjamur dalam kalangan santri. Semua tergantung pada diri santri
itu sendiri. Sejauh manakah kadar keikhlasan dan ketakwaan mereka selama
tinggal di pesantren. Sehingga mereka dengan sepenuhnya menjadi seorang santri
yang fleksibel. tidak sekedar santri yang hanya berlaku di pesantren saja. Walllahu
a’lam bissowab
Istahilagi